RI Mampu Olah Nuklir, Tapi Bukan untuk Senjata

Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Selasa pagi, 12 Januari 2016. Sosok pria berkacamata mengenakan batik lengan panjang berwarna kuning emas keluar dari mobil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Ia berjalan agak terburu-buru saat menaiki tangga masuk Istana, namun sesekali melempar senyum kepada orang di sekitar. 

Wajahnya, mungkin, tidak sefamiliar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu, Sudirman Said, yang ikut dipanggil Presiden Joko Widodo.

Keduanya menghadap Jokowi selama 30 menit untuk membahas pemanfaatan teknologi nuklir di Tanah Air, di antaranya, nasib pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Sosok yang dimaksud adalah Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Djarot Sulistio Wisnubroto.

Kala menerima tim redaksi VIVA.co.id, di kantornya di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Oktober 2017, Djarot blak-blakan soal pro dan kontra pembangunan PLTN.

Menurut pria yang sudah malang-melintang di dunia energi nuklir ini, rencana pembangunan PLTN sudah disiapkan dengan matang. 

Salah satunya, Peta Jalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (Roadmap PLTN). Selain itu, Batan juga sudah melakukan survei tentang respons masyarakat atas pembangunan PLTN.

Bagaimana hasilnya, ikuti wawancara khusus berikut ini.

Seperti apa pandangan masyarakat Indonesia mengenai nuklir?

Program energi nuklir atau PLTN ini sebenarnya sudah ada lebih dari 40 tahun. Jadi, kita sudah mencoba dulu di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah.

Kita sudah melakukan studi kelayakan (feasibility study). Tapi pada waktu, menurut aturan perundang-perundangan, Batan bisa memiliki dan mengoperasikan PLTN komersial.

Ketika kita sudah selesai, muncullah pertentangan yang luar biasa, khususnya dari penduduk lokal. Dari situ kita belajar, lalu pemerintah akhirnya memutuskan untuk rehat dulu (colling down).

Paling penting kita mau permintaan datang dari daerah, dan bukan dari Batan. Selain di Jepara, Bangka Belitung juga masuk dalam pantauan.

Mereka ternyata menyambut positif. Waktu itu gubernur pak Eko Maulana (sekarang sudah almarhum) meminta dilakukan site study.

Akhirnya, kita lakukan pada tahun 2011-2013. Itu sudah selesai. Intinya, keputusan ini adalah keputusan politik. Sejak tahun 1998, Batan tidak dalam posisi untuk memiliki dan mengoperasikan PLTN komersial.