BPIP: Pancasila Bukan Mantra, Hafal Lantas Bangsa Jadi Adil dan Makmur
- Istimewa
“Terbukti dalam sejarah, Yugoslavia terpecah belah, sedangkan Indonesia tetap ada sampai sekarang. Artinya, kesatuan suatu bangsa tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan senjata atau ketokohan seseorang, tapi pada warisan yang bersifat ideologis yang kita kenal sebagai Pancasila,” ujar Yewangoe.
Kemajuan Indonesia
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menegaskan bangsa Indonesia perlu merenungkan sejenak pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang diperingati kelahirannya pada 1 Juni. Menurutnya, upaya untuk memajukan Indonesia jangan sampai meninggalkan fondasi Pancasila sebagai nilai-nilai utama dalam masyarakat Indonesia.
“Terkadang saking semangatnya kita mengejar kemajuan, takut tertinggal negara-negara lain, kita lupa bahwa kemajuan hanya bisa terarah, membawa manfaat bagi bangsa dan manusia, serta langgeng, apabila kita selalu ingat dan berpijak pada nilai-nilai fondasi kita, dan Pancasila sebagai nilai-nilai utama fondasi ini,” ujar Matius Ho.
Matius menegaskan Pancasila merupakan karya jenius bangsa Indonesia, karena merupakan hasil perenungan jati diri bangsa Indonesia, serta meletakkannya dalam nilai-nilai universal dunia. Ir. Soekarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”, mengatakan bahwa kalau 5 sila tersebut diperas menjadi 1 kata, maka diperoleh satu kata Indonesia yang tulen yaitu “gotong-royong”.
Menurut Matius, sila-sila dalam Pancasila sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai universal, misalnya seperti kemanusiaan, kebangsaan yang menjiwai sila persatuan, dan demokrasi yang menjiwai sila kerakyatan. Interaksi nilai-nilai lokal dan global ini, yang dilandasi nilai-nilai moral dan spiritual, merupakan proses penting dalam menjaga persatuan dan jati diri bangsa, seraya terus berinovasi untuk kemajuan dan kebaikan bersama.
“Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang dijalankan Institut Leimena dan UIN Sunan Ampel, Surabaya, menjadi cerminan dari dua dimensi Pancasila yaitu bergotong royong dan berkebinekaan global. Program LKLB selama 2,5 tahun telah menjangkau 10.000 guru dari 37 provinsi dan bekerja sama dengan hampir 30 lembaga keagamaan dan pendidikan di Indonesia,” kata Matius Ho.
Senior Fellow University of Washington, Chris Seiple, mengatakan Pancasila adalah sebuah visi yang indah, sedangkan LKLB adalah jembatan yang mampu mengkontekstualisasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. LKLB menyediakan kerangka bagaimana menjumpai orang lain yang berbeda lewat tiga kompetensi, yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi, serta tiga keterampilan yaitu komunikasi, evaluasi, dan negosiasi.