Lamhot Sinaga: Petani Tulang Punggung Kedaulatan Pangan Nasional, Harus Sejahtera

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Lamhot Sinaga
Sumber :
  • Dok Fraksi Golkar

Jakarta, VIVA – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menegaskan peringatan Hari Tani Nasional tahun ini harus menjadi momentum refleksi nasional untuk meneguhkan komitmen negara terhadap kedaulatan pangan

Menurut legislator Partai Golkar yang dikenal publik sebagai sosok teknokrat ini, sektor pertanian bukan hanya soal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga menyangkut masa depan ekonomi dan kemandirian bangsa.

Lamhot menekankan, salah satu aspek penting yang tidak boleh luput adalah penguatan Industri Pangan Nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2024 kontribusi industri makanan dan minuman terhadap PDB industri pengolahan nonmigas mencapai lebih dari 36 persen, dengan nilai ekspor menembus 50 miliar dolar AS. 

Namun, lanjut Lamhot, meski menjadi penopang utama sektor manufaktur, tantangan masih besar, terutama dalam hal bahan baku yang sebagian masih mengandalkan impor.

"Ini menjadi tugas bersama, karena industri pangan yang kuat akan menjadi fondasi bagi kedaulatan pangan. Komisi VII DPR RI yang juga bermitra dengan Kementerian Perindustrian mendorong agar industri pangan nasional tidak hanya menjadi penyerap produk pertanian, tetapi juga mampu menjadi motor inovasi, diversifikasi produk, dan meningkatkan nilai tambah hasil panen petani," kata Lamhot di Jakarta, Rabu, 24 September 2025.

Politisi dari Dapil Sumatera Utara II ini menegaskan, arah kebijakan pangan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sudah jelas: transformasi dari sekadar ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan. Bagi Lamhot, perbedaan keduanya sangat mendasar. 

Ketahanan pangan sebatas memastikan masyarakat tidak kelaparan, sementara kedaulatan pangan menekankan kemandirian dan kontrol penuh rakyat atas pangan yang diproduksi tanpa bergantung pada impor.

"Presiden Prabowo sudah menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Kita tidak lagi berbicara sekadar ketahanan pangan, tetapi sudah masuk tahap evolusi menuju kedaulatan pangan. Itu artinya rakyat dan petani kita harus berdaulat atas pangan yang diproduksi, tanpa ketergantungan pada impor," ujarnya.

Ketergantungan Impor Masih Besar

Selain itu, Lamhot menyoroti bahwa meski Indonesia memiliki tanah luas dan iklim mendukung, ketergantungan impor masih besar. Sepanjang 2024, BPS mencatat Indonesia masih mendatangkan jutaan ton beras serta ribuan ton buah-buahan seperti apel, anggur, dan jeruk dari luar negeri.

"Kondisi ini tentu saja ironis. Kita punya potensi hortikultura yang luar biasa, tetapi pasar masih dibanjiri produk impor. Jika ini terus dibiarkan, maka petani kita tidak akan pernah berdaulat di tanah sendiri," tegas Lamhot.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah menutup kran impor secara bertahap sembari memperkuat produksi dalam negeri. Menurutnya, hal ini membutuhkan langkah nyata, mulai dari ketersediaan benih unggul, pupuk bersubsidi yang tepat sasaran, hingga perbaikan rantai logistik agar produk lokal bisa bersaing dengan produk impor.

"Pupuk menjadi kunci. Pemerintah harus menaikkan kapasitas produksi pupuk dalam negeri, bahkan bila perlu memperluas subsidi pupuk. Kalau petani sudah dijamin akses pupuk, benih, dan pasar, mereka akan berani meningkatkan produksi. Kepastian pasar adalah jantung dari keberlanjutan sektor pertanian," tambah Lamhot.

Lamhot juga menegaskan bahwa Partai Golkar secara konsisten mendukung program kedaulatan pangan Pemerintah, terutama melalui jalur penguatan industri pupuk nasional. Menurutnya, salah satu bentuk dukungan konkret Partai Golkar adalah memperjuangkan peningkatan kapasitas produksi pupuk dalam negeri dan perluasan subsidi agar seluruh petani Indonesia memperoleh akses pupuk yang memadai dan terjangkau.

Data menunjukkan bahwa Pupuk Indonesia (holding BUMN pupuk) saat ini memiliki kapasitas produksi sejumlah 14 juta ton per tahun (2024), dengan komposisi sekitar 9,4 juta ton untuk pupuk urea dan 4,4 juta ton untuk NPK. Sementara itu, untuk tahun 2025, kapasitas total produksi pupuk telah berada di kisaran 14,5 juta ton, dan alokasi pupuk bersubsidi ditetapkan sebesar 9,55 juta ton. 

Hingga Mei 2025, penyaluran pupuk bersubsidi telah mencapai lebih dari 3 juta ton, dan perusahaan masih menyimpan stok sekitar 2 juta ton (1,4 juta ton subsidi dan 600 ribu ton non-subsidi) yang tersebar di sekitar 27.000 kios resmi di seluruh Indonesia.

Dengan data tersebut, Lamhot menegaskan bahwa kapasitas produksi pupuk nasional sejatinya bisa diperkuat lebih jauh lagi. Karena selama ini fraksi Golkar di DPR juga konsisten memperjuangkan agar semua petani, tidak hanya yang besar atau di pulau Jawa memperoleh akses pupuk subsidi.

"Kita perlu memperluas pabrik pupuk, mendirikan pabrik baru (termasuk di wilayah timur), serta memastikan distribusi sampai ke level desa. Sebab kedaulatan pangan tidak akan bisa tercapai tanpa kedaulatan pupuk. Kalau petani terus bergantung pada pupuk impor dan rantai distribusi yang rapuh, dan stok terlambat, hingga harga melonjak. Maka kedaulatan pangan hanyalah retorika," tegas Lamhot.

Pertanian Modern

Selain soal impor dan pupuk, Lamhot juga menilai mekanisasi pertanian harus segera diwujudkan. Menurutnya, sektor pertanian tidak boleh lagi identik dengan cara tradisional yang mengandalkan tenaga kasar dan hasil minim. 

"Pertanian modern adalah syarat mutlak jika kita ingin bersaing. Mekanisasi membuat proses tanam dan panen lebih cepat, biaya lebih efisien, dan hasil lebih melimpah. Anak-anak muda juga akan lebih tertarik menjadi petani jika ada teknologi yang mendukung," jelasnya.

Ia mencontohkan, transformasi itu bisa diwujudkan melalui penggunaan alat panen modern, sistem irigasi otomatis, hingga teknologi drone untuk penyemprotan dan pemantauan tanaman. "Ini bukan lagi mimpi. Banyak negara sudah melakukannya. Indonesia tidak boleh tertinggal, dan kita sedang menuju ke arah itu," katanya.

Lamhot juga menyinggung pentingnya percepatan reformasi agraria. Ribuan hektar lahan tidur yang tersebar di berbagai wilayah, menurutnya, bisa menjadi motor baru untuk meningkatkan produktivitas nasional. 

"Kita terlalu banyak membiarkan lahan subur tidak tergarap. Padahal, jika lahan itu diaktifkan dan dikelola petani dengan dukungan teknologi, hasilnya akan sangat besar bagi ketahanan pangan kita," ujarnya.

Data terkini menunjukkan skala pertanian Indonesia memang besar, namun belum optimal. Sensus Pertanian 2023 mencatat ada sekitar 27,8 juta petani pengguna lahan dan lebih dari 28 juta rumah tangga usaha pertanian. Sektor ini menyerap lebih dari 38 juta tenaga kerja, atau sekitar seperempat angkatan kerja nasional. 

Di sisi lain, luas perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 16,8 juta hektar dengan produksi tahunan sekitar 50 juta ton. Nilai ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan pada 2025 bahkan diperkirakan tembus 0,57 triliun dolar AS.

"Angka ini menunjukkan potensi yang luar biasa. Tetapi potensi tanpa strategi hanya akan jadi angka, tidak menjadi kekuatan," ujar Lamhot.

Karena itu, ia menekankan bahwa keberpihakan negara tidak boleh setengah hati. Kebijakan harga, akses permodalan, hingga perlindungan terhadap pasar domestik harus benar-benar dipastikan berjalan. Karena petani tidak boleh hanya jadi objek program atau angka statistik. Mereka harus jadi subjek pembangunan. 

"Tanpa petani tidak akan ada pangan, dan tanpa pangan tidak akan ada kedaulatan bangsa. Karena itu petani adalah tulang punggung pangan bangsa. Ini bukan sekadar slogan, tapi kenyataan. Negara harus berdiri di belakang mereka, mendukung mereka, dan memastikan mereka sejahtera. Sebab, dari tangan petani lah masa depan kedaulatan bangsa ini ditentukan," pungkas Ketua Umum IKA Untirta itu.