Fenomena Baru! Sarjana Kini Lebih Sulit Dapat Kerja daripada Lulusan SMP

Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.
Sumber :
  • Pixabay/McElspeth

Jakarta, VIVA – Selama bertahun-tahun, pendidikan tinggi dianggap sebagai tiket emas menuju masa depan cerah. Terutama di negara-negara maju seperti Korea Selatan, gelar sarjana adalah lambang prestasi dan jaminan posisi sosial-ekonomi yang lebih tinggi. 

Namun kini, narasi itu mulai runtuh. Laporan terbaru dari Statistik Korea justru menunjukkan fakta mencengangkan. 

Berdasarkan laporan tersebut, jumlah lulusan universitas yang menganggur kini telah melampaui mereka yang hanya lulus hingga jenjang SMP. Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah sinyal keras bahwa dunia kerja di Korea Selatan sedang menghadapi krisis struktural. 

Melansir dari The Straits Times, Senin, 28 Juli 2025, ketidaksesuaian antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan ketersediaan lapangan kerja menciptakan jurang ketimpangan baru yang bisa berdampak luas, baik secara sosial maupun ekonomi.

Menurut data yang dirilis Statistik Korea pada 22 Juli 2025, terdapat 3,048 juta warga Korea Selatan berusia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan universitas (empat tahun atau lebih), namun saat ini tidak bekerja dan tidak pula mencari pekerjaan. 

Ilustrasi kelas pekerja

Photo :
  • Arabian Business.

Angka ini kini melampaui jumlah penganggur lulusan SMP yang tercatat sebanyak 3,03 juta. Sepuluh tahun lalu, selisih antara kedua kelompok ini masih lebih dari satu juta dan berpihak pada lulusan universitas.

Mengapa lulusan perguruan tinggi justru lebih banyak menganggur? Salah satu jawabannya ada pada ketidakseimbangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Korea Selatan termasuk negara dengan tingkat partisipasi perguruan tinggi tertinggi di dunia, tetapi laju pertumbuhan lapangan kerja tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah lulusan.

Banyak lulusan muda terjebak dalam masa tunggu. Sebagian sibuk mempersiapkan ujian pegawai negeri, sebagian lain menargetkan perusahaan besar yang sangat selektif, sementara sisanya memilih keluar dari pasar kerja sama sekali. Mereka ini diklasifikasikan sebagai "non-ekonomis aktif", yaitu kelompok yang tidak bekerja dan juga tidak sedang mencari pekerjaan.

Masalahnya makin rumit dengan kondisi rekrutmen yang ketat. Berdasarkan survei Federasi Perusahaan Korea (Korea Enterprises Federation) tahun 2025, hanya 60,8 persen perusahaan besar yang berencana merekrut pegawai baru tahun ini. Angka itu merupakan yang terendah sejak 2022.

Sementara itu, lulusan universitas cenderung membidik sektor-sektor bernilai tinggi seperti teknologi dan keuangan. Sayangnya, pertumbuhan di sektor tersebut sedang melambat. Akibatnya, banyak posisi entry-level yang hilang, membuat lulusan baru terjebak dalam ketidakpastian.

Harapan untuk mengalihkan tenaga kerja ke sektor jasa pun tidak membuahkan hasil. Laporan Bank of Korea (BOK) pada Juli 2025 mencatat bahwa produktivitas sektor jasa domestik, termasuk teknologi informasi dan ritel, hanya mencapai 39,7 persen dari sektor manufaktur. Angka itu tidak banyak berubah dalam dua dekade terakhir.

Jika dibandingkan dengan negara lain, posisi Korea Selatan juga tertinggal. Masih menurut laporan BOK, produktivitas sektor jasa Korea hanya mencapai indeks 51,1 jika Amerika Serikat dijadikan standar 100. Rata-rata negara OECD ada di angka 59,9, Jerman 59,2, dan Jepang 56.

Kondisi ini mencerminkan realita yang ironis. Di satu sisi, masyarakat mendorong pendidikan setinggi mungkin. Namun di sisi lain, dunia kerja tak cukup siap menampung lulusan-lulusan tersebut. 

Tanpa reformasi yang menyeluruh di bidang ketenagakerjaan dan pendidikan, Korea Selatan berisiko melahirkan generasi terdidik yang frustrasi dan terpinggirkan.