Inspiratif, 5 Sosok Ini Buktikan Ilmu Tafsir & Filsafat Kunci Jadi Profesional Sukses
- STAI Sadra Jakarta
Jakarta, VIVA – Dalam suasana penuh haru dan kehangatan, ratusan alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta berkumpul dalam gelaran Reuni Akbar Alumni STAI Sadra Jakarta 2025 yang digelar Sabtu, 31 Mei 2025. Bertempat di kampus STAI Sadra, reuni ini menjadi lebih dari sekadar ajang nostalgia. Ia menjelma menjadi panggung narasi inspiratif tentang bagaimana pergulatan intelektual di bangku kuliah mampu membentuk karakter dan arah hidup para alumninya. Berbagai kisah menarik dan tak terduga mengemuka, memperlihatkan bahwa studi filsafat dan tafsir yang selama ini kerap dipersepsikan sebagai bidang yang "berat" atau "abstrak", justru mampu melahirkan individu-individu tangguh yang sukses di berbagai ranah kehidupan.
Dari ruang kelas sederhana yang pernah dipenuhi diskusi mendalam tentang pemikiran Ibn Sina, Mulla Sadra, hingga tafsir-tematis Al-Qur’an, lahirlah para cendekia, da’i, pengusaha, jurnalis, hingga penggerak masyarakat. Mereka bukan hanya lulusan, tapi juga penjaga dan penyambung tradisi berpikir kritis yang berakar dalam keilmuan Islam. Kisah-kisah perjalanan mereka bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan testimoni hidup bahwa pendidikan Islam—jika dirawat dengan kesungguhan dan keberanian berpikir—mampu mengantar siapa saja menjadi sosok yang relevan, dibutuhkan, dan dihormati di tengah dinamika zaman yang kompleks.
Salah satu sosok yang mencuri perhatian adalah Ayu Lestari, alumni STAI Sadra tahun 2010. Semasa kuliah, Ayu dikenal sebagai mahasiswi yang tekun mendalami teks-teks klasik, aktif dalam diskusi filsafat Islam, dan gemar menulis. Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penerbit mayor seperti Gramedia dan penerbit indie. Kini, ia menjabat sebagai dosen tetap PNS di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengampu mata kuliah Filsafat. Kariernya tidak datang dengan mudah; ia meniti jalan akademik dengan konsistensi, dari menjadi penulis, peneliti lepas, hingga akhirnya menyelesaikan studi pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lolos seleksi CPNS. Dalam paparannya saat reuni, Ayu menekankan pentingnya memperlakukan ilmu bukan sebagai sekadar pengetahuan, tetapi sebagai jalan hidup. Ia mengatakan, “Filsafat mengajarkan kita bertanya sebelum menjawab, merenung sebelum bertindak. Itu bekal paling berharga dalam hidup saya sebagai pendidik dan pembelajar.” Kini, Ayu aktif menulis buku baik popular maupun ilmiah, terlibat dalam riset interdisipliner, dan menjadi narasumber dalam forum-forum keilmuan nasional.
Berbeda jalur tapi seirama semangatnya, kisah Harkaman, alumni tahun 2011, menunjukkan bagaimana ilmu filsafat dan tafsir bisa diterjemahkan menjadi kekuatan dakwah yang relevan dan menyentuh. Dikenal sebagai da’i nasional dengan gaya bicara yang lugas namun dalam, Harkaman rutin mengisi acara keagamaan di berbagai forum, hingga kanal YouTubenya yang telah diikuti ratusan ribu penggemar. Kiprahnya bermula dari aktivitas dakwah kampus dan asrama mahasiswa. Perlahan namun pasti, Harkaman mengembangkan pendekatan dakwah yang menggabungkan spiritualitas dengan kecerdasan logis—menyapa umat dengan bahasa yang membumi, namun kaya referensi. “Sadra membentuk nalar saya. Di sana saya belajar bahwa berdakwah bukan hanya soal ceramah, tapi juga soal mendengarkan, memahami realitas, dan menyusun argumen dengan empati,” ungkapnya. Hari ini, ia dikenal sebagai dai yang kerap menjembatani diskursus antara tradisi Islam dan problematika kekinian—dari krisis moral remaja, isu lingkungan, hingga ekonomi umat.
Sementara itu, di ranah bisnis, nama Muhamad Burniat menjadi perbincangan hangat. Alumni STAI Sadra tahun 2013 ini kini dikenal sebagai pengusaha ritel dan ekspedisi yang sukses membangun jaringan usaha di berbagai kota. Burniat memulai semuanya dari nol, bermodalkan semangat mandiri dan keberanian mengambil risiko. Setelah lulus, ia sempat menjadi karyawan biasa dan menjadi relawan sosial sebelum memutuskan membuka toko kecil yang melayani kebutuhan harian masyarakat. Berkat kerja keras dan inovasi dalam manajemen distribusi barang, usahanya berkembang menjadi perusahaan ekspedisi yang melayani pengiriman di wilayah Jabodetabek dan luar pulau. Kini, Burniar menjadi seorang Manager di sebuah perusahaan besar.
Menariknya, Burniat tetap menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai prinsip dalam berbisnis. “Saya tidak pernah menduga ilmu filsafat justru membentuk intuisi bisnis saya. Filsafat itu disiplin berpikir—dan itu penting dalam melihat peluang, membangun relasi, dan mengambil keputusan,” tuturnya dengan semangat. Burniat kini juga rutin menggelar pelatihan bisnis syariah bagi pemuda dan mantan santri yang ingin mandiri secara ekonomi.
Kisah yang tak kalah menarik datang dari Lufaefi, alumni tahun 2014, yang kini dikenal sebagai jurnalis sekaligus dosen yang aktif meneliti keilmuan tafsir. Di tengah dunia media yang sering kali didominasi oleh narasi sensasional, Lufaefi hadir dengan pendekatan jurnalistik yang mendalam, analitis, dan bernuansa keilmuan. Ia banyak menulis opini dan artikel yang membahas dinamika tafsir Al-Qur’an dalam konteks sosial-politik modern, serta menjembatani literasi Islam kepada masyarakat awam melalui bahasa yang ringan namun tidak kehilangan kedalaman. Di dunia akademik, Lufaefi aktif membimbing mahasiswa, meneliti tafsir media, serta menjadi penggerak dalam komunitas kajian tafsir tematik. Dalam testimoni singkatnya, ia mengatakan, “Belajar tafsir bukan hanya menelusuri makna ayat, tapi memahami realitas manusia dengan kacamata ilahi. Dari situ saya belajar menjadi jurnalis yang tidak hanya melaporkan, tapi juga menggugah.” Dedikasinya telah membawa sejumlah penghargaan jurnalistik dan kesempatan kolaborasi dengan lembaga-lembaga keislaman internasional.
Tidak hanya mereka berempat, puluhan alumni lainnya juga menunjukkan kiprah yang membanggakan. Ada yang menjadi peneliti di lembaga think tank, menjadi aktivis lingkungan yang memperjuangkan keadilan ekologis berbasis Islam, ada pula yang menjadi pengembang platform digital Islami dan edukatif. Yang menarik, banyak dari mereka tidak hanya mengandalkan satu jalur karier, tapi berani menjejak di dua atau tiga bidang sekaligus—menggabungkan dunia akademik dengan praktisi, atau dunia dakwah dengan enterpreneurship.
Reuni Akbar ini pun menjadi momentum strategis untuk membangun jejaring alumni yang lebih kuat dan berdaya. Ketua Panitia, Dede Jery Adrian, dalam sambutannya menyampaikan bahwa keberhasilan para alumni harus terus didokumentasikan dan dijadikan inspirasi bagi generasi baru Sadra (sadrian). “Kita ingin Sadra tidak hanya dikenal sebagai institusi akademik, tapi juga sebagai komunitas keilmuan yang terus hidup dalam praktik sosial dan budaya,” ujarnya.
Kisah-kisah para alumni STAI Sadra Jakarta adalah cerminan nyata bahwa filsafat dan tafsir bukan bidang studi yang terbatas pada teori semata. Ia adalah bekal mental, spiritual, dan intelektual yang jika diolah dengan sungguh-sungguh, mampu melahirkan profesional handal, pemimpin yang reflektif, dan manusia yang bermanfaat. Sebuah pelajaran berharga, bahwa keilmuan—jika disatukan dengan visi hidup dan keberanian mengambil peran—akan menemukan jalannya dalam membentuk masa depan.