Kontroversi Rompi Warsito

Dr. Warsito P. Taruno menunjukkan ECCT (Electro-Capacitive Cancer Theraphy) Brain dan ECCT Breast, hasil ciptaannya bersama tim CTECH Labs Edwar Technology Company di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Untuk beberapa jenis obat, mengharuskan pasien seperti dirinya membeli sendiri. "Memang ada kelebihan biaya. Tapi itu tidak besar," ucap dia, yang enggan menyebut angkanya.

Petugas medis dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Gorontalo menyiapkan tempat pemeriksaan IVA/Pap Smear di Kota Gorontalo, Gorontalo. (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Kendati demikian, Rosnani memiliki harapan besar kepada pemerintah. Ia mengatakan, pemerintah harus menyediakan fasilitas untuk penderita kanker di seluruh daerah di Indonesia.

Sebab, RS Dharmais satu-satunya rumah sakit khusus kanker, sehingga pasien dari Sabang sampai Merauke ramai-ramai berobat ke rumah sakit yang ditunjuk sebagai Pusat Kanker Nasional itu.

"Teman saya dari Ambon, Sumatera, dan Papua, semua dikirim ke Dharmais," tuturnya. "Memang peralatannya komplet, canggih, dan gratis bagi pemakai BPJS Kesehatan. Tapi kan ongkosnya sangat mahal. Kasihan kalau yang pas-pasan," ujarnya.

Ia lalu membandingkan jumlah dokter onkologi atau spesialis kanker di rumah sakit kawasan Jakarta. Paling banyak jumlahnya di RS Dharmais dan RS Cipto Mangunkusumo.

"Di rumah sakit lainnya paling banyak dua orang dokter onkologi. Bayangkan kalau pasiennya banyak. Jadi, pemerintah harus sediakan tenaga medis, spesialis penyakit kanker dan fasilitas seperti laboratorium, radiologi," tutur dia.

Selanjutnya, Terobosan Pengobatan Kanker

Terobosan Pengobatan Kanker

Seiring perkembangan medis, teknologi pengobatan kanker juga terus membuat terobosan. Kali ini, anak bangsa bernama Warsito Purwo Taruna, 50 tahun, berhasil menciptakan alat pendeteksi kanker.

Alat itu bernama Electrical Capacitance Volume Tomography (ECTV), dan alat terapi penderita kanker bernama Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT).

Upaya itu berawal dari rasa prihatin melihat kondisi kakaknya, Suwarni, yang divonis kanker payudara pada 2010. Saat itu, ia tengah belajar fungsi gelombang listrik untuk diagnosis dan terapi.

Ia tahu, sebuah sel punya gelombang listrik tertentu bisa berinteraksi dengan gelombang listrik yang dipaparkan padanya. Alumnus Teknik Kimia dan Teknik Elektro di Shizuoka University Jepang itu juga sudah membuktikan, medan listrik bisa menghambat sel kanker.

Gelombang listrik berdaya tinggi akan menimbulkan reaksi tertentu pada sel kanker. Itu sudah menjadi terapi di luar negeri. Tapi, daya listriknya mencapai 70 volt. Ia lalu memutar otak.