Kontroversi Wiranto Jadi Menteri

Menkopolhukam, Wiranto.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Presiden Joko Widodo baru saja merombak susunan Kabinet Kerja untuk kali kedua, dengan mengganti posisi 12 menteri dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam reshuffle ini, terdapat 9 nama baru yang masuk dalam kabinet. Mereka adalah Sri Mulyani Indrawati, Budi Karya Sumadi, Muhajir Efendi, dan Archandra Tahar dari kalangan profesional. Selain itu, Jenderal (Purn) Wiranto, Airlangga Hartarto, Enggartiasto Lukita, Eko Putro Sanjoyo, dan Asman Abnur sebagai perwakilan partai politik.

Diantara semua nama itu, hanya satu menteri yang mendapatkan protes keras dari masyarakat, terutama pegiat hak asasi manusia. Dia adalah Wiranto, mantan Panglima ABRI, serta Menteri Pertahanan dan Keamanan. Protes bermunculan, karena nama Wiranto erat dikaitkan dengan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, saat menyandang kedua jabatan itu pada periode 16 Februari 1998, hingga 26 Oktober 1999.
 
Untuk di dalam negeri, Wiranto selalu diingat-ingat kalangan pegiat sebagai terduga pelanggar HAM berat, apalagi sudah “didokumentasikan” dalam laporan penyelidikan yang diinisiasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia selama masa demonstrasi penggulingan Suharto dari kekuasaan. Yaitu dalam Peristiwa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, serta Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2.
 
Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap ketiga peristiwa itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tapi berkasnya kemudian dikembalikan, karena dinilai kejaksaan belum lengkap. Sementara harapan untuk membawa kasus dugaan pelanggaran HAM itu ke persidangan dipastikan gagal, setelah Badan Musyawarah DPR memveto rekomendasi dari Komisi III DPR pada Maret 2007. Sikap ini membuat usul pengadilan HAM Ad Hoc kandas, karena tak pernah disahkan rapat paripurna.
 
Sedangkan di luar negeri, pada Feburari 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa, di bawah Serious Crime Unit atau Unit Kejahatan Serius, telah mendakwa Wiranto melakukan pembunuhan, deportasi dan persekusi dalam rangka serbuan militer Indonesia pada masyarakat sipil Timor Timur. Dakwaan ini juga ditujukan pada Mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Soares, dan enam petinggi militer senior lainnya.
 
Atas dakwaan ini, sebuah persidangan khusus pada Mei 2004, pasca referendum dan kawasan itu berubah nama menjadi Timor Leste, mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wiranto.