Cocote Tonggo, Film Komedi Bernuansa Jawa Angkat Cerita Kebiasaan Tetangga Suka Julid
- VIVA.co.id/Isra Berlian
Jakarta, VIVA – Cocote Tonggo menjadi salah satu film bergenre komedi yang cukup menarik perhatian. Film besutan Bayu Skak ini sarat akan nuansa budaya Jawa. Menariknya, film ini juga begitu dekat dengan kehidupan keseharian masyarakat Indonesia dalam bertetangga.
Film ini ini mengisahkan tentang tekanan sosial akibat budaya ‘kepo’ dan gosip. Diperankan oleh Ayushita sebagai Murni dan Dennis Adhiswara sebagai Luki, keduanya berperan sebagai pasangan suami istri yang memiliki warisan berupa usaha toko jamu kesuburan. Namun sayangnya, keduanya belum dikaruniai anak meski telah lima tahun menikah. Scroll untuk tahu cerita lengkapnya, yuk!
Cibiran demi cibiran pun harus diterima pasangan tersebut. Puncaknya banyak orang yang enggan untuk ke toko jamu mereka lantaran tidak percaya dengan khasiat jamu yang dijual Murni.
Sang penulis naskah, Nona Ica, mengungkap bahwa film ini terinspirasi dari pengalaman dan lingkungan di masyarakat. Banyak dari masyarakat, kata Ica, yang kerap mendapatkan komentar negatif dari tetangga atau orang terdekat.
Terlebih bagi mereka yang tinggal di desa atau kampung, Ica yang juga berasal dari kampung begitu merasakan tekanan terhadap komentar-komentar negatif yang sering dihadapi perempuan-perempuan di kampung.
"Tentu ada irisan dari pengalaman, dan lingkungan. Sebenarnya rasanya semua orang pernah dikomenin negatif sama tetangga atau orang terdekat. Apalagi bisa dibilang saya dari kampung tau orang kampung ada sisi positifnya guyubnya gotong royong, tapi sisi negatifnya karena kedekatan itu melahirkan hal-hal yang negatif, mengomentari hal-hal yang negatif terutama kepada perempuan," kata dia saat ditemui usai gala premiere di Kuningan Jakarta Selatan, Jumat 9 Mei 2025.
Sang penulis juga mengungkap sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan kurang menyenangkan dari tetangga-tetangga di kampungnya. Berangkat dari sanalah dirinya terinspirasi membangun kisah Murni yang mendapatkan cibiran dan tekanan dari tetangganya perihal keturunan.
"Kalau saya sendiri ngerasanya kayak ada tekanan sosial yang lebih kepada perempuan, yang pasti dirasakan orang. Kalau diumuran saya seumuran Bayu (sutradara) pertanyaannya kapan nikah, kapan nikah tapi kalau setelah nikah akan ada pertanyaan lagi kayak Murni dan Luki, kapan punya anak," bebernya.
"Pertanyaan keingintahuan orang tidak akan pernah selesai kalau kita mau nurutin aja. Pertanyaan itu akhirnya menimbulkan tekanan masing-masing dari kita yang mungkin berdampak buruk ke kita atau ke orang tersayang. Contohnya bu Pur (Asri Welas) dia punya tekanan tersendiri sehingga sekarang dia jadi orang yang marah-marah, berjarak sama suami, tidak mau dengerin anaknya, itu kan melahirkan trauma baru," sambung dia.
Oleh karena itu, melalui film ini dia berharap masyarakat bisa sadar untuk tidak mencampuri kehidupan atau ranah pribadi seseorang.
"Harapannya dengan film ini kita saling sadar untuk tidak judge orang lain. Supaya kita sama-sama sadar untuk memutus generasional trauma itu," kata dia.