Durjo dan Wanita di Dalam Kepalaku
- Pixabay
Ternyata ia sedang mencari baju kemeja untuk keperluan wawancara dengan salah satu perusahaan. Aku sedikit malu mendengarnya. Mengingat, sampai sekarang aku saja masih menganggur. "Cari kemeja yang bagaimana?" tanyaku.
"Yang tidak terlalu formal, santai, yang menunjukkan bahwasannya aku seorang traveller," jelasnya.
"Yang ini saja," aku menunjuk ke arah kemeja biru berbintik-bintik putih.
"Yakin?" timpalnya.
"Iya."
Ia seperti tidak menyukai pilihanku tapi anehnya ia tetap mencoba. Ia pun segera masuk ke ruang ganti dengan membawa kemeja yang aku tunjukkan. Beberapa menit kemudian ia keluar. "Ini? Bukan aku banget," ucapnya.
"Ya sudah jangan dibeli kalau enggak suka." aku menimpal kata-katanya dengan senyuman. "Yuk ke teater, sebentar lagi filmnya mulai," ajakku.
"Film apa?" tanyanya singkat.
"Horor, aku sedang ingin menontonnya."
Pikiranku mulai melarikan diri dari tempatnya. Imajinasiku terlalu liar. Aku membayangkan tangannya akan menggenggam tanganku nanti. Kepalanya akan bersandar di bahuku nanti. Ahh, sudah gila aku.
Selama film berlangsung ketegangan berlalu sendiri-sendiri di bangku kami. Teriakan keraguan lebih tepatnya yang aku keluarkan, sedangkan ketakutan menjadi aib masing-masing.
Film usai, tak terasa hari sudah menjelang malam. Ia pun mengajak aku untuk makan malam di salah satu restoran cepat saji kesukaannya. Letaknya di Jalan Sumatera di Pulau Jawa. "Kau mau makan apa?” tanyanya.
“Yang ada daging apa?" tanyaku.
"Paket premium. Teriyaki atau semur?" tanyanya lagi.
"Teriyaki."
Ia pun memesan makanan dengan ekstra mayonaise kesukaannya. Sambil makan, kami berbincang-bincang dengan lancarnya. Malam semakin temaram, dewi malam tak lagi muram walaupun tubuhnya sudah dinaungi awan berjam-jam.
Setelah memutuskan lelah bersama-sama karena seharian jalan, kami pulang ke rumah masing-masing. Ia berkata akan kembali lagi ke Bumi Lakipadada lusa. Hatiku terenyuh. Pikiranku keruh.
Aku terbaring di kasur, di kamar tidurku yang lembab. Wanita yang bersemayam di dalam kepalaku muncul lagi. Senyumnya kembali merekah, matanya membuncah. Aku kembali menangis. Foto Durjo terselip di bawah bantalku. Aku memandanginya. Wanita itu tertawa. Tawanya menggema. "Pergi kau!" Aku pun tertidur.