Belajar dari Laba-laba
- U-Report
Sejurus kemudian, ia duduk dengan pandangan kosong. Kubiarkan ia tenggelam dengan pikirannya. Ia benar, aku hanya pandai bicara. Aku bahkan tak pernah berani mengungkapkan cinta kepada siapapun. "Sejujurnya bukan hanya patah hati yang membuatku frustasi. Aku merasa diriku tak berguna. Kamu bisa kuliah, sedangkan aku tidak. Jangankan kuliah, pekerjaan saja aku tak punya. Aku malu jadi bahan gunjingan tetangga. Setiap hari luntang-lantung tanpa arah tujuan. Bukannya aku tak berusaha, tapi lamaranku selalu ditolak. Namun, tetangga-tetangga di kampung tetap menganggapku pemalas. Aku ini anak tak berguna," kata Ruslan murung.
"Sabar!" ucapku menasihatinya. "Aku muak dengan kata itu. Apakah dengan bersabar bisa membuatku lepas dari cap sebagai anak tak berguna?" Aku bisa memahami perasaan Ruslan. Masalah yang sebenarnya adalah ia sedang kehilangan semangat. Tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan hanyalah pemicu atas bom masalah yang mengendap di pikirannya. "Sabar itu hanya Allah yang akan membalasnya. Persetan dengan mereka! Apakah mereka akan membantumu ketika kamu butuh? Tidak, Ruslan! Mereka hanya butuh bahan gunjingan." Ruslan menatapku tajam.
"Mereka benar. Aku memang tak berguna. Semua yang kulakukan selalu salah dan tak pernah berhasil. Sekarang, kalimat bijak apalagi yang akan kau katakan padaku? Kau hanya bisa bicara tanpa bukti!" Percuma banyak bicara dengan Ruslan ketika semangat hidupnya sedang terhempas. Aku lebih memilih diam sambil mengamati langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba. "Mereka benar dan kamu salah!" Ruslan menunjuk hidungku. "Yang mereka katakan sesuai fakta, sedangkan ucapanmu NOL BESAR! Kamu hanya bisa menyenangkanku dengan kata-kata sok bijakmu. Lihatlah dirimu? Apakah kamu pernah punya pacar? Kamu motivator gadungan!" Kalimat Ruslan menohokku, tapi aku tak akan membantahnya. Kemarahan membuatnya tak bisa mengontrol emosi. Setan sedang mengunci akal sehatnya dan membakar hatinya.
"Kenapa diam? Atau sekarang kamu sedang kehabisan stok omong kosong?" Kuseruput sisa kopi hitam yang sudah hambar, namun dinginnya sedikit mengalihkan perhatianku dari jebakan emosi. "Kamu lihat laba-laba itu?" tunjukku ke langit-langit. Alih-alih memandang ke arah yang kumaksud, ia malah menatapku aneh. "Jangan mengalihkan perhatian! Aku bukan anak kecil," hardik Ruslan. Kuberanikan menatap mata Ruslan. Kuhitung-hitung, setan di matanya mulai berkurang. Yang tertinggal hanya pandangan nanar.