Mataku dan Jantungnya
- U-Report
Setahun yang lalu, aku mendatangi Edward Muchtar. Ia adalah dokter bedah plastik muda yang sedang digandrungi perempuan-perempuan kaya setengah baya. Jangan tanya siapa saja perempuan sosialita yang sudah merasakakan magic finger-nya karena daftarnya akan sangat panjang. Tanyakan saja siapa yang belum pernah ia tangani. Ia memang sangat cemerlang, tapi ketampanannya pasti juga sangat berpengaruh dalam kariernya.
Aku tahu aku sudah sempurna. Aku hanya ingin mendengar pernyataan itu keluar dari mulut profesional. Edward Muchtar menggeleng-geleng tak percaya karena tak ada satu pun pada diriku yang ingin diubahnya. “Mata saya, bagaimana dengan mata saya?” tanyaku. “Sempurna,” jawabnya. “Tak ada yang salah dengan mata saya? tanyaku meyakinkan. “Kenapa dengan mata Anda?” Jawaban Edward Muchtar menjadi istimewa sejak saat itu.
Sebulan kemudian, pada hari ulang tahunnya yang ke-40, ia melamarku. Tak mungkin kutolak karena tak ada pasangan yang lebih serasi daripada kami. Lagipula, setelah menghabiskan hidup tanpa satu kekasih pun, lamarannya bagiku adalah surga. Namun, ada yang aneh. Aku tak pernah mendengar detak jantungnya. Tidak saat kami berpelukan dan saat aku menyandarkan kepala di dadanya. Tidak saat kami bercinta habis-habisan meski peluh bercucuran.
Pernah aku bertanya padanya, “Mengapa jantungmu tak berdetak?” “Aku orang yang sangat lembut, detak jantungku pun begitu halus,” jawabnya sambil mengelus rambutku. Pernah karena penasaran, sepulang syuting aku membeli balon. Di ruang tamu, ia duduk membelakangiku sambil membaca buku tentang keunggulan insting yang sudah seminggu ini jadi teman waktu senggangnya. Pelan-pelan kudekati dan dengan jarum yang sudah kusiapkan, aku tusuk balon itu. Meletus keras sekali, aku kaget setengah mati. Tapi suamiku dengan tenang menoleh ke arahku dan berkata enteng sambil memungut pecahan karet yang awalnya menggembung itu, “Hai, sayang. Ya, ampun, ini untuk apa?” Aku hanya melongo, “Kau tidak kaget?” tanyaku. “Oh ya, ya, tentu. Tadi itu keras sekali suaranya. Sebenarnya kamu lagi ngapain, sih?” “Iseng saja,” jawabku datar.
Dua hari yang lalu rumahku kerampokan. Suami dan pembantuku dibunuh. Tampaknya mereka melawan dan para pelaku tak segan-segan melibaskan golok mereka. Aku tidak di rumah karena sedang syuting. Aku menggerutu mengapa kawanan perampok ini tidak lebih modern dengan menggunakan pistol saja supaya rumahku tidak perlu se-messy ini. Tepat di jantung, beres. Dengan golok, suami dan pembantuku tak langsung mati dan rupanya bergerak ke sana-sini berusaha melarikan diri. Kesal sekali melihat bercak darah di mana-mana karena berarti perlu ekstra bersih-bersih.