Di Ujung Mimpi yang Akhirnya Dapat Terwujud
- Pixabay/Startupstockphoto
Tahun kedua di SMP, aku berhasil menjabat sebagai Ketua OSIS. Prestasiku pun menjulang, sehingga aku diberi gratis biaya sekolah sampai lulus SMA. Tapi rasa frustrasi di dalam diriku ternyata ada dan terus ada. Karena aku ingin semua hadiah-hadiah yang berhasil kuraih, ibu yang mewakili untuk mengambilnya. Tapi, itu hanyalah suatu khayalan yang tak pasti yang tak mungkin terwujud.
Ya, ibuku sakit. Lantunan doa sering aku panjatkan untuk ibuku yang terbaring. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku sampai di penghujung sekolah SMP-ku. Tepatnya pada tahun 2013. Saat itu aku merasa kebingungan. Aku bimbang antara bekerja atau meneruskan sekolahku.
Di tengah kebimbanganku, Allah ternyata mempertemukanku dengan Ibu Wati. Beliau adalah salah seorang pedagang tanpa suami yang mempunyai anak kelas 6 SD yang bernama Geger Giat Agustina. Aku mulai akrab dengan anaknya, sehingga aku sering disuruh beliau untuk bantu-bantu di warung. Lama kelamaan aku semakin akrab dengan anaknya, sampai ke mana-mana ia selalu ingin denganku.
Aku diberi arahan kembali oleh Ibu Wati, “Nut, kamu sekolah saja. Semangatlah untuk melanjutkan sekolahmu. Sayang prestasimu selama ini,” ujar Ibu Wati. Akhirnya pada bulan Juli 2013, menjelang penutupan pendaftaran sekolah untuk Negeri, aku beranikan diri mendaftar di SMAN 1 Leuwidamar, Lebak, Banten.
Saat dua hari menjelang Ospek, aku harus mulai membayar biaya sekolah. Aku bingung, dan ternyata Ibu Wati memberiku uang untuk pemasukan awal sebesar Rp 300,000. Aku bangga dan sangat bersyukur kepada Allah. Saat aku mulai dewasa, aku baru sadar di balik sikap ibuku yang seperti itu, aku begitu dicintai banyak orang, bahkan sampai diangkat anak. Saat itu juga, aku baru sadar kalau ibuku ternyata sakit jiwa. “Bu, aku sayang Ibu. Ibu kenapa seperti itu?”
Ternyata cobaan yang harus aku lalui tidak berhenti sampai di situ. Saat penghujung SMA, tepatnya sekitar satu minggu menjelang ujian akhir dan tepat sembilan tahun ibuku sakit, Allah menguji keluargaku. Rumahku terbakar habis tanpa sisa, tepatnya pada 29 Maret 2016. Akhirnya nilai ujianku sangat rendah dan mendapat predikat yang jauh dari harapan. Karena jujur, aku merasa sangat depresi atas kejadian itu.
Saat tiga bulan waktu libur, dan menjelang pembukaan kuliah, aku merasa sangat bingung. Tiba-tiba aku teringat kembali perkataan guruku, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Akhirnya, tanpa bilang kepada orang tuaku, aku mencoba mengikuti seleksi kuliah. Tapi sayang, sampai tiba saat pengumuman, ternyata aku tidak berhasil lolos.