Di tengah Ancaman Perang, Begini Reaksi Gen Z
- vstory
Perang hari ini tak hanya berlangsung di medan tempur, tapi juga merambah ke lini masa TikTok. Di saat dunia diliputi ketegangan dan ancaman konflik global, generasi muda justru meresponsnya dengan cara yang unik: memakai tagar #WW3, tampil dengan outfit bergaya militer, hingga membagikan meme tentang ikut perang lengkap dengan eyeliner.
Terlihat jenaka, tapi di balik tawa itu tersimpan cerminan kegelisahan mereka menghadapi dunia yang tak menentu.
Tagar #WW3 jadi viral di berbagai platform, terutama TikTok dan X (Twitter). Banyak anak muda yang ikut membuat konten berupa:
OOTD gaya tentara ala fashion week,
Video POV jadi prajurit
Meme kocak tentang “draft militer”
Yang bikin menarik, konten-konten ini muncul bersamaan dengan meningkatnya ketegangan nyata antarnegara besar seperti Iran dan Israel, atau Rusia dan NATO. Tapi alih-alih panik, Gen Z justru mengolah isu besar ini jadi bahan humor visual dan satir.
Hal ini mencerminkan satu hal penting: mereka sadar situasinya serius, tapi merasa nggak punya kendali apa-apa. Jadi daripada diam dan stres, lebih baik dibuat lucu sekalian.
Respons Gen Z ini sebenarnya bukan hal baru. Mereka dikenal sebagai generasi yang mengolah trauma kolektif dari pandemi, perubahan iklim, sampai ketidakstabilan ekonomi dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Mereka bukan cuek. Justru karena peduli, mereka butuh ruang untuk melampiaskan ketegangan. Meme, fashion, dan konten satir adalah bentuk humor sebagai pelampiasan (coping mechanism). Tapi tetap ada sisi kritisnya juga.
Apakah semua ini bikin kita jadi kurang sensitif terhadap konflik sungguhan? Apakah penderitaan orang di negara konflik jadi terasa jauh hanya karena kita mengubahnya jadi template TikTok?
Apakah ini membuat kita jadi kurang sensitif terhadap konflik nyata?
Kemungkinan itu ada, terutama jika kita hanya mengikuti tren tanpa memahami konteksnya.
Namun di sisi lain, humor juga bisa menjadi cara sehat untuk mengelola rasa takut—selama tidak menghilangkan empati terhadap mereka yang benar-benar terdampak.
Apakah penderitaan orang lain terasa jauh karena dijadikan konten di TikTok?
Ya, hal itu bisa terjadi. Ketika tragedi dikemas sebagai hiburan, rasa kepedulian bisa ikut menipis.
Namun jika disikapi dengan sadar, konten tersebut justru bisa menjadi jembatan untuk membuka mata dan hati terhadap realitas yang sedang terjadi.
Fenomena tren konten bertema perang yang viral di media sosial, terutama yang dibuat oleh Gen Z di luar negeri, kini dengan cepat menyebar ke Indonesia. Para kreator konten muda di tanah air tidak hanya sekadar meniru, tapi juga mengadaptasi tren tersebut dengan gaya humor khas yang sangat dekat dengan budaya dan kehidupan sehari-hari orang Indonesia.
Adaptasi seperti ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia tidak hanya mengikuti arus tren global, tapi juga memberikan sentuhan personal yang membuat konten tersebut terasa lebih relevan dan mengena bagi mereka sendiri dan teman-teman sebaya.
Lebih jauh lagi, tren ini menggambarkan kondisi psikologis anak muda di Indonesia yang tengah menghadapi kelelahan kolektif atau “collective fatigue.” Mereka hidup di tengah berbagai tantangan berat seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, hingga isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Kondisi-kondisi ini memunculkan rasa lelah dan cemas yang melanda banyak orang muda.
Namun, alih-alih menyerah pada situasi sulit tersebut, mereka memilih untuk menyalurkan perasaan dan ketegangan itu melalui tawa, kreativitas, dan konten digital. Dengan cara ini, mereka tidak hanya bertahan secara mental, tetapi juga menjaga semangat dan solidaritas melalui humor yang membumi dan mudah dipahami.
Respons Gen Z terhadap isu global lewat meme, parodi, dan gaya busana ala tentara sebenarnya bukan sesuatu yang patut diremehkan. Justru ini adalah bentuk kreativitas dalam menghadapi ketidakpastian. Ketika banyak hal terasa di luar kendali—mulai dari ancaman perang, krisis iklim, hingga tekanan ekonomi—mereka memilih untuk melawan rasa takut itu dengan cara yang bisa mereka kontrol: membuat konten.
Namun, tetap ada batas yang perlu dijaga. Mengubah tragedi menjadi tren bisa memunculkan risiko normalisasi kekerasan atau menurunnya empati. Tidak semua konflik bisa (atau pantas) dijadikan bahan lucu-lucuan. Ada manusia yang benar-benar menderita di balik layar, dan kita harus tetap mengingat itu.
Maka, solusinya bukan membatasi ekspresi Gen Z, tapi menumbuhkan kesadaran media dan empati sosial, agar humor yang mereka ciptakan tidak melupakan sisi kemanusiaan.
Fenomena Gen Z yang menggabungkan makeup, meme, dan estetika militer untuk menghadapi isu-isu besar seperti ancaman perang bukan sekadar tren iseng semata. Ini adalah cara mereka mengekspresikan kecemasan dan ketidakpastian dunia dengan cara yang kreatif dan ringan. Humor dan kreativitas menjadi pelindung mental di tengah ketegangan global yang sulit dikendalikan.
Di Indonesia, tren ini juga berkembang dengan sentuhan khas lokal yang membuatnya semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari anak muda. Mereka menghadapi banyak tantangan—dari ekonomi hingga lingkungan—namun memilih untuk tidak menyerah pada rasa takut dan stres. Sebaliknya, mereka mengolahnya menjadi tawa dan konten yang bisa menguatkan diri sendiri dan komunitasnya.
Jadi, meskipun terlihat lucu dan kadang absurd, cara Gen Z ini adalah bentuk adaptasi nyata dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks. Dengan kreativitas dan humor, mereka menemukan ruang untuk bertahan, berkomunikasi, dan tetap peduli, tanpa kehilangan empati terhadap situasi sebenarnya.