Restorasi Lahan Indonesia, Pentingkah?

Pemuda menanam bibit pohon @ 2020 Piyaset [https://www.shutterstock.com/image-photo/hand-young-people-planting-small-plant-1746515330]
Sumber :
  • vstory

Namun, mari kita jujur. Restorasi tidak murah. PBB memperkirakan dibutuhkan investasi 1 miliar dolar per hari di tingkat global hingga 2030. Di Indonesia, kebutuhan dananya tentu tidak kecil. Tetapi mari kita bandingkan dengan biaya kerugian akibat degradasi. Kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 saja menimbulkan kerugian lebih dari Rp75 triliun, belum termasuk dampak kesehatan dan sosial. Jadi, pertanyaannya bukan lagi apakah restorasi mahal atau tidak, melainkan lebih rela membayar untuk memperbaiki atau untuk menanggung kerusakan.

Restorasi lahan juga bukan sekadar tanggung jawab negara. Sektor swasta yang selama ini menikmati keuntungan dari eksploitasi lahan harus ikut menanggung beban. Perusahaan tambang, perkebunan, dan properti tidak bisa lagi bersembunyi di balik program CSR yang hanya berupa pembagian bibit atau acara tanam pohon seremonial. Mereka harus terlibat dalam restorasi yang nyata, dengan indikator keberhasilan yang bisa diukur, diawasi, dan dipertanggungjawabkan. Di sisi lain, masyarakat lokal harus diberi ruang dan kapasitas untuk menjadi pelaku utama restorasi, bukan sekadar penonton. Sebab, mereka yang paling merasakan dampak degradasi sekaligus yang paling paham dengan kearifan lokal untuk memulihkan tanahnya.

Jika restorasi gagal menjadi agenda nasional, Indonesia akan masuk dalam jebakan krisis berlapis. Pertama, krisis pangan akibat menurunnya produktivitas lahan pertanian. Kedua, krisis air bersih karena daerah resapan hilang. Ketiga, krisis kesehatan karena polusi asap kebakaran terus berulang. Keempat, krisis sosial-ekonomi karena masyarakat desa kehilangan sumber penghidupan, lalu bermigrasi ke kota yang sudah penuh sesak.

Karena itu, restorasi lahan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pertanyaannya, apakah kita mau melakukannya dengan serius atau sekadar ikut arus seremonial global? Indonesia punya peluang besar untuk menjadi contoh dunia. Dengan luas lahan, keragaman ekosistem, dan budaya gotong royong yang masih hidup, kita sebenarnya memiliki modal sosial-ekologis yang kuat. Yang kita butuhkan adalah keberanian politik untuk memprioritaskan masa depan dibandingkan keuntungan sesaat.

Peringatan Desertification and Drought Day 2025 seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengubah cara pandang. Restorasi bukan proyek sampingan, melainkan inti dari pembangunan berkelanjutan. Jika kita terus menunda, tanah akan menagih balasannya dalam bentuk bencana dan krisis yang lebih besar. Tetapi jika kita berani melangkah sekarang, tanah yang kita pulihkan akan menjadi warisan paling berharga bagi generasi mendatang.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.