Sempat Heboh, Kebebasan Pers Versus Telegram Kapolri

Launching Website Polda Metrojaya (dok Nur Terbit)
Sumber :
  • vstory

Saya masih ingat, ketika itu media selalu "diteror" dengan "budaya telepon". Setiap kali akan menurunkan berita sensitif mengenai tindakan atau kebijakan pemerintah rezim Soeharto.

Saya, atau kita semua yang pernah jadi wartawan di era Orde Baru, terkadang serba salah. Kita misalnya masih ada di lapangan meliput berita, tapi, eh Pemred kita di kantor redaksi sudah ditelepon agar berita yang kami liput tadi jangan disiarkan.

Maka lebih amannya, media mengutip berita Antara, KNI, PAB, tiga kantor berita cukup populer kala itu. Atau redaksi terkadang pura-pura "budek" akan adanya larangan pemuatan berita via telepon tersebut. Paling juga ditegur dengan surat peringatan dari Departemen Penerangan (kini Kominfo). 

Belum sampai dicabut SIUP-nya. Atau Surat Izin Usaha Penerbitan, "dibredel" alias diberangus seperti yang pernah dialami Sinar Harapan, Tempo, Kompas, Detik, Pos Sore dan Prioritas.

Belakangan bisa terbit lagi, di antaranya ada yang berganti nama, kecuali Prioritas yang "terkubur" sampai sekarang (Nur Terbit)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.