Dugaan Korupsi Jantani Bakal Bisa Halangi Dirinya Jadi PJ Bupati Bangka

Jantani Ali
Sumber :
  • Istimewa

Pangkal Pinang, VIVA – Wacana pengangkatan Jantani Ali sebagai Penjabat (Pj) Bupati Bangka tengah menuai perdebatan. Kepala Dinas PUPR Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini mendadak menjadi sorotan bukan karena prestasi di bidang infrastruktur, melainkan karena namanya dikaitkan dengan kasus korupsi yang menyeret anak buahnya ke penjara.

Viral Ibu dan Bayi Diduga Disekap di Kandang Anjing oleh PT PMM, Pelakunya Ternyata...

Kasus ini bermula dari proyek pemeliharaan rutin jalan di Bidang Bina Marga Dinas PUPR Babel pada 2018. Sapriadi, yang saat itu menjabat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merangkap Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Pangkalpinang. Ia divonis dua tahun delapan bulan penjara, denda Rp100 juta, serta diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,03 miliar.

Majelis hakim menyatakan Sapriadi terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Jika tidak mampu membayar uang pengganti, ia akan dikenai tambahan hukuman satu tahun lima bulan penjara. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya meminta hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Cara Unik Pengusaha Asal Bangka Yudhi Fu Bikin Perayaan HUT RI ke-79

Namun vonis terhadap Sapriadi tak menjawab seluruh teka-teki. Ia hanyalah pelaksana teknis. Banyak pihak mempertanyakan: di mana posisi Kepala Dinas saat itu, Jantani Ali, dalam pengambilan keputusan proyek yang berujung korupsi ini?

Nama Jantani memang sempat disebut dalam persidangan dan tercatat pernah dimintai keterangan sebagai saksi. Tapi hingga kini, tak ada kelanjutan penyelidikan terhadap dirinya. Padahal, sebagai pimpinan tertinggi di Dinas PUPR, kendali teknis dan administratif proyek berada di bawah tanggung jawabnya.

Ramalan Denny Darko: Kemungkinan Sandra Dewi dan Harvey Moeis Siap Hadapi Masalah Korupsi

“Dalam struktur birokrasi, tanggung jawab kepala dinas bersifat melekat,” kata Suherman Saleh, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Babel, Minggu, 4 Mei 2025. “Kalau anak buahnya dipenjara karena korupsi, sementara atasannya tak tersentuh hukum, tentu publik berhak curiga. Bisa jadi ada kelalaian sistemik atau pembiaran yang luput dari jeratan hukum.”

Yang mengundang perhatian, di tengah kontroversi tersebut, nama Jantani justru masuk dalam bursa calon Pj Bupati Bangka. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa usulan tersebut datang dari lingkaran internal Pemerintah Provinsi Babel. Jantani dinilai memiliki pengalaman teknis dan kedekatan struktural dengan elite birokrasi di daerah.

Reaksi publik pun tak bisa dibendung. Di media sosial, muncul seruan penolakan dari sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat. Mereka menilai pengusulan sosok yang institusinya pernah terlibat kasus korupsi adalah langkah mundur dalam upaya reformasi birokrasi.

“Pemimpin daerah harus bebas dari kontroversi hukum. Kalau jejak masa lalunya masih menyisakan pertanyaan, ini preseden buruk,” kata Irwan, seorang aktivis antikorupsi di Pangkalpinang.

Sebagian warga juga mempertanyakan proses pengusulan yang dinilai tertutup dan minim evaluasi integritas. Mereka mendesak Gubernur Babel dan Kementerian Dalam Negeri untuk lebih selektif dan mengutamakan figur yang bersih dari catatan buruk.

Sampai berita ini dipublikasikan, Jantani Ali belum memberikan pernyataan resmi. Upaya konfirmasi dari media ini belum direspons. Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung belum mengeluarkan pernyataan apakah kasus Sapriadi akan dikembangkan lebih lanjut, terutama menyasar struktur pimpinan dinas.

Bagi sejumlah kalangan, kasus ini menjadi pengingat bahwa korupsi dalam birokrasi bukan hanya soal individu, tapi juga sistem dan relasi kuasa. Jika hanya pelaku level bawah yang dikorbankan, maka upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah menyentuh akar persoalan.

“Selama pimpinan institusi tetap kebal hukum, maka praktik impunitas akan terus terulang,” ucap Irwan. Ia berharap aparat penegak hukum berani menggali kembali peran struktural dalam kasus ini—agar integritas pejabat publik tidak dibangun di atas pondasi abu-abu. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya