Pasar Ekspor Baru Buka Peluang RI Genjot Hilirisasi Produk
- VIVA.co.id/Yasir
"Akibat negara-negara maju menggunakan mekanisme standardisasi, NTB semacam ini berpotensi menghambat ekspor Indonesia ke negara-negara potensial tujuan ekspor,” serunya.
Melihat terbukanya pasar baru ekspor sebagai suatu keniscayaan, pemerintah pun mau tak mau gencar menggaet potensi dagang dengan negara non-tradisonal. Untuk negara tradisional, penguatan dagang dan pengembangan variasi produk menjadi solusi.
Seperti diketahui penandatanganan nota kesepahaman sektor perdagangan dengan Arab Saudi baru-baru ini dilakukan untuk komoditas bernilai tambah. Meskipun dalam beberapa tahun ini telah terjadi kemerosotan minat dagang Arab Saudi dengan Indonesia.
Bahkan berdasarkan data neraca perdagangan terlihat kekosongan beberapa sektor yang menurutnya masih berpotensi untuk digenjot.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, transaksi perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi periode 2015-2016 mengalami penurunan, sebesar 26 persen menjadi US$4,01 miliar pada 2016 dibanding setahun sebelumnya.
Data dari UN Comtrade juga menyebutkan, di 2012 sampai 2014, neraca dagang Indonesia dengan negara negara yang tergabung dalam Indian Ocean Rim Asociation (IORA) tercatat defisit sebesar US$4,2 milar, US$4,9 miliar dan US$1,5 miliar.
Baru pada tahun 2015 neraca dagang Indonesia dengan negara-negara IORA kembal tercatat surplus sebesar US$2,5 miliar dan sebesar US$1,45 miliar di 2016. Nilai surplus itupun tersebut belum menyamai capaian terbesar surpus di atas US$ 5 miliar yang terjadi di 1998, 2000 dan 2007.
Secara umum, sepanjang 2016, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus US$8,78 miliar, meningkat 14,5 persen dibandingkan 2015 sebesar US$7,67 miliar. Nilai ekspor Indonesia sendiri tercatat sebesar US$144,43 miliar dengan impor impor US$135,65 miliar.
Surplusnya neraca perdagangan terjadi lebih karena penurunan angka impor jauh lebih tinggi dibanding penurunan ekspor. Tercatat nilai impor pada 2016 tersebut turun 4,94 persen dari tahun sebelumnya sebesar US$142,7 miliar. Penurunan tersebut lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,95 persen. Sementara ekspor turun dari US$150,4 miliar di 2015 menjadi US$144,43 miliar di 2016.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui, selama puluhan tahun Indonesia terlalu banyak mengandalkan ekspor bahan mentah. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan perusahaan perdagangan yang besar sehingga memiliki kemampuan dalam mengelola hasil perkebunan tersebut.
Ia mencontohkan, bagaimana selama ini Singapura menjadi negara tujuan ekspor hasil perkebunan Indonesia, menyerap komoditas dengan harga rendah. Namun, ketika sudah sampai di Singapura, hasil perkebunan tersebut diolah lagi, dan malah memiliki nilai jual hingga tiga kali lipat harga yang dibeli dari Indonesia.