Inisiatif Sabuk dan Jalan: Ambisi Besar Tiongkok yang Kini Dihadang Skeptisisme Global
- TheRichest.com
Jakarta, VIVA – Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), proyek ambisius yang digagas Partai Komunis Tiongkok, pernah dielu-elukan sebagai kekuatan transformatif dalam pembangunan infrastruktur global. Namun, seiring berjalannya waktu, inisiatif ini berubah menjadi kisah peringatan tentang janji-janji yang tidak terpenuhi dan meningkatnya skeptisisme internasional. Hingga tahun 2025, semakin banyak negara, termasuk ekonomi besar seperti Brasil, India, dan Italia, yang memilih menjauh dari proyek ini, yang kini lebih terlihat sebagai alat ekspansi pengaruh Tiongkok ketimbang upaya murni untuk mendorong pembangunan ekonomi.
Seperti dilansir Daily Mirror, Minggu 9 Maret 2025, sejak diluncurkan pada 2013, BRI menghadapi berbagai tantangan, mulai dari proyek yang mangkrak hingga utang yang tidak berkelanjutan. Dari 150 negara yang semula tertarik, kini semakin banyak yang mempertanyakan manfaat nyata dari inisiatif ini.
Salah satu contoh paling mencolok adalah Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC), yang semula digadang-gadang sebagai proyek unggulan BRI. Namun, hingga kini, Pelabuhan Gwadar masih belum berfungsi optimal akibat perencanaan yang buruk dan masalah keamanan, sementara proyek infrastruktur penting seperti Jalan Raya Karachi-Lahore masih terbengkalai. Pakistan kini menghadapi utang sebesar $69 miliar kepada Tiongkok, memperjelas bagaimana janji kemakmuran dari BRI sering kali berujung pada krisis finansial.
Situasi serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Di Asia Tenggara, lebih dari $50 miliar dana yang dijanjikan untuk infrastruktur belum terealisasi. Studi dari Lowy Institute menunjukkan bahwa hanya 35% proyek infrastruktur Tiongkok di kawasan tersebut yang telah selesai, jauh lebih rendah dibandingkan tingkat penyelesaian proyek Jepang (64%) dan Bank Pembangunan Asia (53%). Perbedaan ini mengindikasikan bahwa masalah BRI bukan sekadar tantangan dalam pembangunan infrastruktur global, tetapi juga mencerminkan kelemahan mendasar dalam pendekatan Tiongkok.
Salah satu kekhawatiran terbesar terhadap BRI adalah apa yang disebut sebagai "diplomasi jebakan utang." Kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka menjadi contoh nyata. Setelah menerima pinjaman lebih dari $1 miliar untuk membangun pelabuhan yang kelayakan ekonominya dipertanyakan, Sri Lanka akhirnya harus menyerahkan pengelolaannya kepada Tiongkok dengan skema sewa selama 99 tahun akibat ketidakmampuannya membayar utang. Kasus serupa terjadi di Laos, yang kehilangan 90% kendali atas jaringan listrik nasionalnya ke Tiongkok setelah kesulitan membayar utang proyek kereta api Boten-Vientiane senilai $6 miliar.
BRI tidak hanya menghadirkan risiko finansial, tetapi juga memperkuat ketergantungan ekonomi negara-negara mitra pada Tiongkok. Dengan membanjiri pasar lokal dengan barang-barang murah, Beijing melemahkan industri dalam negeri negara-negara seperti Kamboja, Nepal, dan Burma. Selain itu, banyak proyek BRI yang memiliki potensi penggunaan ganda, menimbulkan kekhawatiran bahwa infrastruktur sipil dapat dimanfaatkan untuk kepentingan militer, sehingga memperluas jangkauan strategis Tiongkok di kawasan Samudra Hindia.
Ilustrasi proyek pembangunan.
- VIVA/M Ali Wafa
Tanda-tanda kemunduran inisiatif ini semakin nyata. Pada 2023, sebanyak 19 negara, termasuk ekonomi besar seperti Turki dan Kenya, memutuskan untuk sepenuhnya menghentikan keterlibatan mereka dalam BRI. Meskipun investasi keluar dari Tiongkok meningkat sebesar 10% pada 2024, sebagian besar dana ini justru dialihkan ke sektor di luar BRI, seperti industri teknologi tinggi dan energi. Inflasi global juga memperbesar angka investasi ini, menciptakan ilusi ekspansi yang menutupi kelemahan mendasar dalam program tersebut.
Bagi negara-negara mitra, konsekuensi dari keterlibatan dalam BRI tidak hanya sebatas utang finansial. Banyak dari mereka mengalami erosi kedaulatan dan terbatasnya ruang gerak dalam menentukan kebijakan ekonomi mereka sendiri. Sri Lanka, Pakistan, dan Laos kini menjadi contoh nyata bagaimana janji investasi dari Tiongkok sering kali berakhir dengan meningkatnya ketergantungan pada Beijing dan berkurangnya otonomi nasional.
Kemunduran BRI mencerminkan perbedaan mencolok antara ambisi global Tiongkok dan realitas di lapangan. Alih-alih menciptakan kesejahteraan bersama, inisiatif ini lebih banyak meninggalkan jejak proyek terbengkalai, utang yang tak terkendali, serta hubungan diplomatik yang tegang. Keputusan negara-negara besar untuk menjauh dari BRI menunjukkan bahwa semakin banyak pihak yang menyadari risiko keterlibatan dalam proyek ini.
Ketika semakin banyak negara berusaha melepaskan diri dari pengaruh ekonomi Tiongkok, BRI bukan lagi dipandang sebagai model pembangunan internasional, melainkan sebagai peringatan akan bahaya menerima investasi infrastruktur tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Kegagalan inisiatif ini untuk memenuhi janji-janji awalnya menandai titik balik dalam cara dunia memandang keterlibatan ekonomi Tiongkok.
Perubahan persepsi ini bukan sekadar kegagalan satu proyek, tetapi juga refleksi dari strategi global Tiongkok yang semakin dipertanyakan. Ketika negara-negara terus mengevaluasi kembali partisipasi mereka dalam BRI, inisiatif ini menjadi pengingat bahwa pembangunan internasional yang sejati membutuhkan transparansi, manfaat yang adil, dan penghormatan terhadap kedaulatan—nilai-nilai yang tampaknya semakin jarang ditemukan dalam strategi infrastruktur global Tiongkok.