Menlu Iran: Senjata Nuklir Tidak Manusiawi, Dilarang Agama!
- ANTARA/Anadolu
Teheran, VIVA – Di tengah ketegangan global pasca-perang 12 hari Iran-Israel, dan melibatkan Amerika Serikat, pernyataan mengejutkan datang dari Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi.
Ia menegaskan bahwa senjata nuklir bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga haram secara agama, dan justru dapat melemahkan posisi strategis Iran di mata dunia.
"Kami menganggap senjata nuklir tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga dilarang secara agama. Untuk mempertahankan diri, kami tidak memerlukan persenjataan nuklir," tegas Araghchi kepada CBS News, Rabu, 2 Juli 2025.
Terlebih lagi, Araghchi mengakui secara terbuka bahwa tidak semua pihak di dalam Iran sepakat dengan sikap anti-nuklir yang dipegangnya.
"Memiliki senjata nuklir justru bisa menempatkan kami dalam posisi yang lebih rapuh. Namun, tentu ada suara-suara lain di dalam negeri yang berpikir sebaliknya," imbuhnya dengan nada waspada.
Iran Tak Percaya AS
Pernyataan tersebut muncul di tengah sorotan tajam terhadap pembicaraan nuklir Iran-AS. Araghchi mengungkapkan bahwa Teheran belum memutuskan apakah akan kembali duduk di meja perundingan dengan Washington, terutama setelah AS ikut memperkeruh konflik Iran-Israel.
Ketegangan memuncak sejak 13 Juni, saat Israel melancarkan serangan ke Iran dengan tuduhan bahwa Teheran tengah menjalankan program senjata nuklir rahasia. Iran membantah keras tuduhan itu dan merespons dengan serangan balasan.
Selama 12 hari penuh, konflik bersenjata meletus antara dua musuh bebuyutan tersebut. Ketika konflik tampak akan meluas, Amerika Serikat ikut turun tangan dan meluncurkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran pada malam 22 Juni.
Iran membalas dengan langkah berani—serangan rudal langsung ke pangkalan militer AS Al Udeid di Qatar, sebuah sinyal bahwa Teheran tak gentar menghadapi kekuatan adidaya.Â
Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada 23 Juni bahwa Iran dan Israel akhirnya menyepakati gencatan senjata. Namun, pada 24 Juni, Trump kembali menegaskan bahwa perjanjian damai itu bersifat rapuh dan memperingatkan kedua belah pihak agar tidak melanggarnya.Â