'Perang' Pakar Hukum di Kasus Jessica
- Antara/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id - Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 20 tahun pada terdakwa perkara dugaan pembunuhan atas Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso. Mereka menilai Jessica terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana.
Setelah putusan, vonis yang dibacakan oleh Hakim Ketua Kisworo pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 27 Oktober 2016, langsung memunculkan pro dan kontra. Menariknya, polemik itu tak hanya terjadi di kalangan masyarakat, melainkan pakar hukum.
Berdasarkan catatan VIVA.co.id, setidaknya ada tiga ahli hukum pidana yang memberikan respons terkait vonis dari hakim tersebut.
Berikut selengkapnya:
1. Jessica Harusnya Bebas
Pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, menilai putusan hakim itu kontroversial karena tak ada saksi di persidangan yang menyatakan terdakwa melakukan perencanaan untuk menghilangkan nyawa korban.
"Bukti perencanaannya tidak ada, tidak ada satu pun saksi yang menyatakan adanya perencanaan," ucap Romli saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis, 27 Oktober 2016.
Menurut Romli, untuk membuktikan perencanaan ini mestinya ada kejelasan motif terdakwa melakukan perbuatan, serta rangkaian upaya Jessica dalam menghilangkan nyawa Mirna dengan menggunakan sianida.
Untuk itu perlu dilihat ada tidaknya perselisihan antara Jessica dengan Mirna sebelumnya. Selain itu, mengungkap rangkaian perencanaan pembunuhan, dimulai dengan cara dia memperoleh sianida sampai menuangkan ke gelas kopi Vietnam yang disajikan Kafe Olivier.
Kata Romli, selama ini di persidangan tak terungkap semua masalah itu sehingga unsur-unsur pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mestinya tak terpenuhi.
"Saya pikir harusnya bebas," tutur dia.
2. Hakim Tak Pantas Menilai Tangisan Jessica
Pengamat hukum pidana dari Universitas Tarumanegara, Hery Firmanysah, menilai pertimbangan soal tangisan Jessica berlebihan. Alasannya, karena seharusnya motif Jessica menangis di persidangan tak berhubungan dengan pokok perkara.
"Bukan pantas atau tidak pantas tapi hal tersebut seharusnya tidak menjadi pertimbangan hakim. Bicara tentang hukum maka bicara dasar hukum dan teori hukum. Bukan hanya sekadar mengamati perilaku manusia yang mungkin saja tiap individu berbeda," ujar Hery kepada VIVA.co.id, Jumat, 28 Oktober 2016.