KPK Tak Peduli Argumen Terdakwa BLBI
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok
Laporan BPK tahun 2002 berpendapat bahwa ikatan perdata Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) telah final dan closing. Sementara, dalam audit tahun 2006, BPK menilai BPPN dapat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI. Alasannya, karena pemegang saham BDNI yakni Sjamsul Nursalim telah memenuhi perjanjian MSAA dan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Terkait kerugian keuangan negara itu, Febri menuturkan, perhitungan tersebut telah dilakukan secara cermat oleh BPK saat dimintai KPK.
Febri mengatakan, penanganan kasus BLBI ini menjadi tantangan seluruh pihak dalam upaya memulihkan keuangan negara yang diderita akibat korupsi yang dilakukan terkait penerbitan SKL BLBI. "Kasus ini akan menjadi tantangan bersama bagi semua pihak sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang sangat besar," kata Febri.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, menganggap wajar adanya perbedaan antara ketiga laporan hasil audit BPK dalam kasus BLBI yakni laporan pada tahun 2002, 2006, dan 2016. Hal ini, kata Moermahadi bisa terjadi lantaran berbedanya tujuan penggunaan hasil audit dari ketiga laporan tersebut.
Sementara hasil audit tahun 2017, menurut Moermahadi, memang dilakukan khusus untuk melakukan perhitungan kerugian negara. "Sedangkan yang sebelum-sebelumnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasti beda," kata Moermahadi seusai mengikuti kegiatan konsolidasi dan silaturahmi bersama sejumlah pimpinan lembaga dan kementerian di kantor KPK, Selasa malam, 22 Mei 2018.
Bertambahnya jumlah kerugian negara akibat perbuatan Syafruddin dalam penerbitan SKL BLBI, juga bisa terjadi. Menurutnya, hal ini mengingat banyaknya keterangan saksi-saksi dan bukti yang dikantongi penyidik, sehingga mampu memperkuat konstruksi perkara atas terdakwa Syafruddin. "Mungkin saja nanti ada novum, ada bukti baru pasti beda perhitungannya," kata Moermahadi. (mus)
