Abu Sayyaf, Perompak yang Disusui Tebusan
- REUTERS/Nickie Butlangan
Lantas sejauh manakah tradisi bayar tebusan ini terjadi? Pemerintah Indonesia memang bersikukuh tidak melakukan hal ini. Dasar diplomatisnya adalah adanya konvensi tentang tata cara melawan praktik terorisme.
"Ini standar konvensi UN, no concession policy, no ransom pay policy. Konsesi itu misalnya penyandera meminta ditukar dengan teman mereka yang dipenjara, itu tidak boleh. Kemudian membayar ransom, itu juga tidak boleh," kata Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai.
Atau dengan kata lain. Negara memang tidak diperkenankan mengeluarkan uang sepeser pun soal tebusan sandera. Namun bila perusahaan menyanggupi, maka itu tak bisa dilarang dan menjadi tanggungjawab perusahaan yang dibajak. Negara hanya tinggal mengatur proses penyelamatan dan proses penjemputan sandera lagi.
Kesepakatan perompak
Apa pun itu, kini Malaysia, Indonesia dan Filipina sepertinya mulai gerah dengan pembajakan dan ancaman keamanan di perairan lautnya masing-masing.
Atas itu, tiga negara telah menyepakati akan melakukan patroli laut guna memerangi praktik perompakan laut seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf. Filipina sebagai negara yang kini menjadi rumah bagi Abu Sayyaf, lewat tangan Presiden Rodrigo Duterte kini bersiap memerangi Abu Sayyaf di hutan Filipina.
FOTO: Ilustrasi/Patroli laut milter Indonesia
"Pemerintah Filipina tidak main-main. Pertama, kerahkan 10 ribu tentara, kini 20 ribu tentara di satu pulau. Belum lagi, dibantu kelompok MNLF (Front Nasional Kebebasan Moro). Tentara Filipina koordinasi dengan MNLF," kata Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu.
Tak cuma itu, kini berkat kesepakatan juga. Ke depan aksi perompakan bisa dilakukan penindakan hingga lintas negara. Atau dengan kata lain, Indonesia kini bisa menembus batas Filipina jika memang ada arganya yang dirompak lagi oleh kelompok bersenjata di Filipina.
"Dengan agreement kita kejar sampai bisa melumpuhkan mereka. Ini merupakan satu kemajuan dari apa yang dicapai sebelumnya," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal (purn) Wiranto pada Rabu, 14 September 2016.
