PDIP Tahan Tradisi, PSI Coba Gagas Format Baru Politik Terkait Pemilihan Ketum

Bendara PDIP (Ilustrasi)
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Jakarta, VIVA - Dua partai politik di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru menggelar kongres dengan mekanisme pemilihan ketua umum yang berbeda. PSI mengadopsi sistem one man one vote, sementara PDIP tetap menggunakan mekanisme aklamasi.

Mensesneg Sebut Belum Ada Bahasan Jatah Menteri untuk PDIP

Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto mengungkap, kedua cara pemilihan ketum itu tak bisa dibandingkan secara langsung. Dia menilai, langkah PSI yang melibatkan ribuan anggota dalam pemilihan adalah upaya membangun model baru yang lebih terbuka.

“Itu kan cara-cara untuk merubah tradisi dan mencari bentuk baru ya, supaya mendapat simpati publik,” kata dia kepada wartawan, Senin, 4 Agustus 2025.

Megawati Didampingi Prananda dan Hasto Melayat Rumah Duka Ibunda Bintang Puspayoga

PSI ganti logo jelang Kongres di Solo

Photo :
  • Ist

Sementara itu, PDIP dinilai sebagai partai lama yang sudah memiliki akar kuat dan ideologi yang mapan. Karena itu, mekanisme pemilihan ketum dilakukan berdasar tradisi yang telah terbangun selama ini.

Dasco Bawa Pesan Prabowo saat Bertemu Megawati, Apa Isinya?

“Dengan cara aklamasi itu, dalam bahasa Indonesianya barangkali musyawarah mufakat gitu ya. Sesuai tradisi yang mereka bangun selama ini,” ujarnya.

Dirinya menekankan, baik sistem pemilihan langsung maupun aklamasi sah-sah saja, asal tidak menimbulkan konflik internal.

“Menurut saya begini ya, PSI dan PDIP itu memang berbeda dan tidak bisa dibandingkan. Tapi pada prinsipnya kedua-duanya memiliki ciri yang berbeda sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang bisa diterima oleh konstituen masing-masing. Sepanjang tidak ada paksaan, kemudian merupakan tradisi yang hidup di dalam partai masing-masing. Jadi apakah mau dipilih langsung atau aklamasi, sepanjang tidak melahirkan konflik internal partai, menurut saya baik-baik saja keduanya," ujarnya.

Terkait keputusan PDIP untuk tetap mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum sekaligus merangkap Sekretaris Jenderal, dirinya menilai itu sebagai bentuk respons terhadap situasi yang tengah dihadapi partai, khususnya menyangkut kondisi hukum Sekjen sebelumnya, Hasto Kristiyanto.

“Menurut saya itu bagian dari dinamika partai. Mungkin PDIP punya pandangan yang lebih jeli melihat kondisi saat ini. Di mana Mas Hasto belum siap secara psikologis untuk menjadi Sekjen partai karena masih berhadapan dengan hukum ya,” ujar dia.

Meski amnesti telah dikeluarkan oleh Presiden, menurutnya, proses hukum terhadap Hasto belum sepenuhnya selesai.

“Kan meskipun amnesti sudah dikeluarkan presiden, tapi yang bersangkutan belum keluar surat keputusan presiden untuk segera bebas. Ini dalam kondisi yang belum sepenuhnya bebas," ucapnya.

Hal inilah yang dinilai menjadi pertimbangan PDIP menunjuk Megawati untuk merangkap posisi Sekjen sementara.

“Artinya bagi PDIP itu menjadi pertimbangan, sehingga Sekjen untuk sementara dipegang oleh Ketum. Sehingga apakah itu nanti akan terjadi perubahan, itu PDIP lebih tahu soal itu, dan saya rasa apa yang menimpa PDIP itu sudah paling baik menurut PDIP," kata dia.

“Ya, pertimbangannya karena posisi Pak Mas Hasto ini kan masih belum selesai secara utuh di amnestinya, ya karena masih belum dikeluarkan surat keputusannya, sehingga belum Kepres yang belum keluar, ya, sehingga dia belum keluar secara bebas. Sehingga selesaikan dulu. Maka itu diberi tenggat waktu, untuk sementara Sekjennya dijabat oleh Ibu Ketum,” ujarnya.

Lebih lanjut Agus menyebut, posisi Megawati masih sangat penting bagi PDIP, bahkan menjadi kekuatan utama partai.

“Betul, betul masih dianggap sebagai mesin partai dan partai, sehingga Mbak Mega masih diaklamasikan sebagai Ketum partai,” kata dia lagi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya