Industri Barang Mewah Global Lagi Sulit-sulitnya

Louis Vuitton.
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, VIVA – Lebih dari seratus atlet Olimpiade Paris 2024 mengembalikan medali yang berkarat – ini jadi pertanda buruk bagi perusahaan yang mendesainnya.

Tiongkok Memperluas 'Penindasan Digital' hingga Lintas Negara

Medali tersebut dirancang oleh perusahaan perhiasan Prancis, Chaumet, yang dimiliki oleh LVMH, raksasa barang mewah.

Meskipun medali diproduksi oleh Lembaga Percetakan Uang Prancis, LVMH mendapat citra buruk atas promosi yang berlebihan namun gagal menampilkan kualitas yang sepadan, seperti dikutip dari situs DW, Senin, 25 Agustus 2025.

Tawaran Jadi Negara Penjamin Ditolak Ukraina, Begini Respons Tak Terduga Tiongkok

Pelopor barang mewah yang sedang tidak baik-baik saja. Contohnya LVMH, yang berbasis di Paris, Prancis, kini sedang stagnan.

Pada akhir 2022, nilai pasar LVMH melonjak tinggi, hal ini membuat Bernard Arnault, pendiri dan pemimpin perusahaan yang memiliki sekitar setengah saham perusahaan tersebut didaulat menjadi orang terkaya di dunia.

Makin Go Internasional, Bos BI Sebut QRIS Bakal Bisa Dipakai di China dan Arab Saudi

Namun sejak itu, harga saham 75 merek bergengsi dan mahal seperti Louis Vuitton, Dior, dan perhiasan Bulgari dan Tiffany & Co mengalami penurunan signifikan.

Data semester I 2025 yang dirilis perusahaan tersebut pada 24 Juli, menunjukkan penurunan pendapatanan sebesar 4 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.

Laba operasional turun 15 persen menjadi 9 miliar Euro (Rp170 triliun). Wine, minuman beralkohol, fesyen, dan produk dari kulit mengalami penurunan pendapatan dan laba operasional, sementara penjualan jam tangan mewah, perhiasan, parfum, dan kosmetik tetap stabil.

LVMH menyatakan, perusahaannya menunjukkan resistensi yang baik dan mempertahankan inovasi yang kuat di tengah gangguan geopolitik dan ekonom. Permintaan di Eropa dikatakan ‘kuat' sedang permintaan AS tetap stabil.

Harga yang ‘meroket' dan stok berlebih

LVMH bukan satu-satunya produsen barang mewah yang sedang mengalami kesulitan. Kering, yang berbasis di Paris yang menaungi merek-merek seperti Gucci, Bottega Veneta, dan Yves Saint Laurent, juga melaporkan penurunan penjualan yang signifikan pada paruh pertama tahun ini.

"Industri barang mewah sedang memasuki pusaran kematian,” prediksi Katharine K. Zarrella dalam rubrik opini New York Times Desember 2024. "Setelah satu dekade pertumbuhan yang hampir tak terkendali, sektor ini mengalami penurunan drastis secara global. Analis menduga, pembeli kelas menengah mengurangi pengeluaran mereka untuk barang mewah, dan permintaan barang mewah di China menurun.”

Zarrella, seorang editor mode berpengalaman, melihat pertanda buruk ini - seperti kenaikan harga dan kualitas yang buruk. Selain itu, semakin banyak barang bermerek yang tersisa dari stok yang berlebih, yang dijual di toko diskon. Barang mewah yang semakin umum didapat, semakin berkurang daya tariknya.

"Tempat-tempat yang dulu disegani yan dengan bangga menonjolkan keahlian kerajinan tangan, layanan, dan menumbuhkan kebijakan berbasis  pelanggan setia, kini berubah menjadi ‘mesin pemasaran massal', sebanding dengan toko coklat M&M's di Times Square,” katanya menyimpulkan.

‘Terpukul' tarif AS

Ketidakpastian tarif jadi masalah lainnya bagi industri. Saat ini, pemerintahan Trump telah memberlakukan tarif 15% untuk barang-barang dari Uni Eropa dan bahkan tarif 39 persen untuk barang-barang dari Swiss. Banyak barang mewah diproduksi di Prancis atau Italia, dan banyak jam tangan berasal dari Swiss.

Umumnya orang rela menghabiskan uang untuk berbelanja barang mewah jika mereka merasa optimis tentang masa depan, ekonomi yang stabil, pekerjaan mereka aman, dan investasi dapat berkembang. Namun, tarif-tarif dagang yang turun-naik atau hilang menyebabkan banyak ketidakpastian.

Pembeli China lebih berhati-hati

"Meskipun beberapa merek mewah masih digemari di China, penjualan merek lainnya turun drastis," kata Imke Wouters, mitra di perusahaan konsultan Oliver Wyman dan pakar ritel dengan pengalaman 15 tahun di China.

Ke depannya, Wouters memperkirakan industri ini akan mengalami pertumbuhan yang moderat, "Ini tidak seperti masa-masa kejayaan sebelumnya,” katanya kepada DW. Akan ada merek yang bertahan ada juga yang akan bangkrut.

Tarif AS terhadap barang mewah Eropa tidak akan mempengaruhi pembeli China, tetapi ketidakpastian geopolitik membuat mereka lebih memilih berbelanja di dalam negeri.

Tren belanja di dalam negeri ini diperkirakan naik dari 40 persen menjadi sekitar 75 persen. Namun, dengan kondisi ekonomi China yang cenderung melemah, banyak pembeli kelas menengah berhenti membeli barang mewah.

Untuk tetap menarik konsumen yang tersisa di China, produsen merek mewah harus fokus meningkatkan pengalaman berbelanja, menawarkan keunikan produk, dan memastikan kenaikan harga sebanding dengan kualitas.

Menyasar pembeli-pembeli muda kelas atas

Menurut perusahaan konsultan Bain&Company, lesunya pembelian membuat industri barang mewah menghadapi kemunduran terbesar sejak krisis keuangan yang terjadi pada periode 2008-2009, diluar dampak Pandemi Covid-19.

Tahun lalu, penjualan barang mewah turun 1 persen secara global, dan tahun ini angka penjualan terus menurun. Bain&Company memperkirakan akan terjadi penurunan sebesar 2-5 persen hingga akhir tahun, tetapi mereka yakin prospeknya lebih cerah di masa depan.

Claudia D'Arpizio dan Federica Levato dua analis Bain&Company menyatakan, jumlah pembeli barang mewah masih dapat ditingkatkan dengan "Memperluas jangkauan ke pasar yang sedang tumbuh dan menyasar lebih banyak pembeli generasi muda dari kalangan menengah ke atas.”

Namun, jumlah pembeli yang besar tidaklah cukup. Merek-merek tersebut harus mengubah cara berinteraksi dengan konsumen muda, mengurangi ketergantungannya pada pelanggan lama, serta membangun hubungan emosional yang lebih mendalam dan melewati batasan loyalitas transaksionbal belaka.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya