Pakai Nuerosains, Iklan Ini Sukses Melantak Emosi Konsumen
- U-Report
VIVA – Iklan yang emosional semakin sering digunakan oleh merek terkenal untuk memperdalam hubungan dengan konsumen di Indonesia. Perusahaan data dan konsultasi berskala global, Kantar, menggabungkan survei dengan neurosains menjadi metode facial coding.
Metode ini mampu mengidentifikasi ekspresi dan emosi yang dipicu oleh iklan dan bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan emosional dengan konsumen.
Selain itu juga dapat menganalisa respons penonton dari perubahan raut wajah, sehingga membantu peneliti iklan dalam proses rasionalisasi pascapenelitian.
Sementara neurosains merupakan ilmu yang mempelajari sistem saraf yang ada di otak manusia. Dengan meneliti dan mempelajari berbagai macam sistem yang ada di otak, maka perilaku seseorang atau bahkan perilaku masyarakat dapat dimanipulasi.
Melalui penggunaan neurosains dan facial coding inilah, Kantar berhasil membedah merek-merek apa saja yang berhasil melantak (menguras) emosi konsumen lewat iklan selama Ramadan 2019 atau 'Most Loved Indonesian Ramadhan Ad 2019' didasarkan pada data survei seribu konsumen di Indonesia.
"Iklan Ramadan tahun ini sukses mendobrak 'norma' iklan tradisional di sepanjang Ramadan. Ini juga mencerminkan perubahan Indonesia yang mencari dan menghargai ketulusan dari tujuan yang otentik," kata Kepala Eksekutif Divisi Insight Kantar Indonesia, Suresh Subramanian, dalam keterangannya, Rabu, 17 Juli 2019.
Ia melanjutkan, mengukur emosi momen demi momen menjadi sangat penting, terutama dalam membangun hubungan yang bermakna dengan orang Indonesia ketika memanfaatkan periode Ramadan.
"Kami juga mengoptimalkan neurosains dengan data survei untuk menampilkan solusi neurosains modern yang terbaik untuk mendorong efektivitas dan dampak manfaat, terutama dalam hal kreatif," jelasnya.
Adapun tiga tema yang menonjol dalam iklan Ramadan tahun ini yang penelitiannya dilakukan secara online pada 17-27 Mei dan 4-19 Juni 2019.
Pertama adalah otentik, yaitu membawa keadaan sesungguhnya dan menjadi berani, dalam segi konteks menggambarkan keadaan sesungguhnya. Sementara, dari sisi bersikap, membawa cerita tentang ketegangan yang dialami dalam diri sendiri atau eksternal.
Kedua adalah simbolisme yakni cerita yang disampaikan mempunyai makna dalam dan bermakna dari sekadar ritual simbolik yang terlihat, seperti bedug ataupun azan untuk salat atau sahur.