Minum Sperma Jadi Tradisi Unik Suku di Negara Tetangga Indonesia, Kok Bisa?
- www.pixabay.com/geralt
Ilustrasi sperma.
- CCRM
Setelah melakukan ritual pertama, mereka harus menelan air mani dari pria dewasa. Dengan melakukan hal tersebut, Suku Sambia meyakini tingu yang layu itu akan kembali kuat ketika mereka meminum air mani.
Tingu yang kembali tumbuh dalam tubuh anak laki-laki itu akan semakin kuat jika mereka dipisahkan dari kaum hawa dan menjalani diet ketat. Bagi anak laki-laki yang menentang dan menolak ritual tersebut, mereka akan mendapat sanksi oleh ketua suku berupa hukuman mati.
‘Sumber’ air mani ini adalah laki-laki berusia 13-21 tahun dan belum menikah.
Anak yang sedang menjalani ritual ini akan dipaksa menelan sebanyak mungkin air mani, sehingga tubuh mereka kuat.
Pada usia 13 tahun, saat memasuki masa pubertas, ritual tadi kembali dilakukan. Kali ini, mereka berperan sebagai penyumbang air mani bagi laki-laki yang berusia 7 tahun. Setelah mereka tumbuh dewasa sekitar berusia 20 tahun, ayah dan saudara laki-laki akan menikahkan anak tersebut.
Laki-laki muda ini akan dinikahkan setelah sang pengantin wanita melewati menstruasi pertama. Sebelum dinikahkan, para tetua suku akan melatih para lelaki muda ini untuk melepaskan diri dari kepuasan wanita.
Sebab, jika mereka terlena, Suku Sambia meyakini tingu perempuan tersebut dapat membuat laki-laki tersebut jatuh sakit, bahkan meninggal dunia.
Salah satu caranya adalah mandi lumpur setelah berhubungan intim untuk membersihkan kotoran yang ditularkan istrinya. Ritual kedewasaan ini baru akan berakhir ketika seorang laki-laki menjadi ayah.
Keberhasilan seorang pria Suku Sambia dapat dilihat setelah sang istri melahirkan. Saat mereka berstatus sebagai seorang ayah, mereka akan dihormati serta dianggap sebagai pejuang dan pria dewasa.
