- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan bahwa jaminan produk halal tujuannya melindungi semua pihak, baik konsumen maupun produsen. Menurut Ledia, apa yang dilakukan Zoya sah-sah saja sebagai upaya memberi nilai tambah pada produk yang dijualnya. Karena, memang sertifikasi halal tidak bersifat wajib, tapi sukarela.
Mengenai adanya keresahan publik setelah beredarnya promosi produk jilbab yang mengklaim telah mendapatkan sertifikasi halal, Ledia minta Kementerian Agama bertindak. Tindakannya tidak mesti dalam bentuk tindakan berupa penghukuman, tetapi memberikan penyuluhan yang lebih luas ihwal jaminan produk halal.
“Kan Kemenag ada Direktorat Bimas Islam, harusnya menjelaskan tentang kehalalan, masuk ke penyuluh agama, materi khotbah, yang sayangnya selama ini, itu minim,” tuturnya.
“Di satu sisi, MUI sejak 1984, melihat jaminan produk halal ini sangat minim peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama.”
Isu Komersialisasi
Penyelenggaraan jaminan produk halal yang lebih dari dua dekade dilakukan oleh MUI ternyata menarik perhatian publik belakangan ini. Isu komersialisasi, besarnya nilai transaksi di balik proses sertifikasi mengemuka dan seakan menyudutkan MUI.
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal memang panjang. RUU sempat masuk program legislasi DPR periode 2004-2009. Sudah sampai pembahasan dengan pemerintah, namun tidak berhasil disahkan sampai habis masa jabatan. Masalahnya sebuah RUU tidak bisa di-carry over ke periode berikutnya.
Pada DPR periode 2009-2014, rancangan itu dimulai dari awal. Draf mulai dikerjakan pada 2010 dan diselesaikan pada 2012 menjadi RUU inisiatif DPR.
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal itu pun diawali masuknya surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ketua DPR tertanggal 10 Januari 2012 dan 21 Mei 2012, perihal penunjukan wakil pemerintah untuk membahas bersama.
Butuh dua tahun untuk merampungkan pembahasan RUU itu hingga disahkan pada 25 September 2014.
Kewenangan siapa memberikan sertifikasi halal menjadi isu krusial. Ledia mengisahkan, soal sistem itu sempat mengemuka dan terjadi tarik-menarik apakah Kementerian Agama boleh memeriksa kehalalan produk. Parlemen kompak menolak keinginan itu, karena regulator tidak boleh menjadi operator.
MUI sempat keberatan kewenangan sertifikasi halal dicerabut. Adu argumen terjadi antara pihak yang pro maupun yang kontra sampai akhirnya disepakati berdirinya sebuah badan baru sebagai jalan tengah.