Menuju Rekonsiliasi Peristiwa 1965
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
"Saya ditahan di Pulau Buru tujuh tahun. Di Pare-pare lima tahun, Saya ditahan saja, tetapi tidak dihukum, dan saya sama sekali tidak diberikan alasan penahanan," katanya Selasa 19 April 2016.
Hal serupa juga diungkapkan Kusnendar, seorang Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perindrustrian. Kini, di usianya ke-83, dia menceritakan kembali pengalamannya 50 tahun silam. Saat itu, pemerintah menugaskannya mengelola Akademi Pimpinan Perusahaan (APP).
"Pas saat pulang kantor, Di situlah terjadi pergolakan, yang saya sama sekali tidak paham. Tiba-tiba jam 4 sore datang TNI bawa truk, saya diangkut, enggaka tahu dibawa kemana," tuturnya, Selasa 19 April 2016.
Setelah sampai di Rutan Salemba, Jakarta, Kusnendar langsung digeledah dan dipukuli. Dia pun dituduh membunuh para jenderal. Mulai 10 Oktober 1965, dia dimasukkan ke sel tahanan. Kemudian pada 1969, Kusnendar dipindah ke Pulau Buru, untuk berkumpul bersama tahanan politik lainnya di masa itu.
Namun, bukan penyiksaan saat menjadi tahanan yang membuat Kusnendar menderita. Setelah dibebaskan sekitar 1979, tudingan keterlibatannya dalam PKI dan pembunuhan jenderal masih melekat. Stigma itu pun berimbas pada keluarganya.
"Saya terpaksa bercerai dengan istr, karena bekas tahanan. Akhirnya, kita bikin perjanjian cerai, supaya anak saya bisa bekerja," katanya.
Dia pun berharap, agar penyelesaian yang dijanjikan pemerintah memberikan solusi pada korban. Sebab, eks tahanan politik '65 sampai sekarang masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Permintaan maaf negara
Meski sepakat memberikan penyelesaian terhadap peristiwa '65, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hasyim Muzadi menolak setuju dengan arah rekonsiliasi yang disiapkan melalui simposium ini. Hasyim tetap mendesak Presiden Joko Widodo, atas nama negara, meminta maaf kepada para korban.
Menurut Pengasuh Pesantren Al-Hikam ini, pihak yang bisa dianggap bertanggung jawab mengenai suatu peristiwa sejarah adalah rezim penguasa pemerintahan kala itu. Meski begitu, karena negara bersifat permanen, sedangkan rezim hanya sementara, maka Presiden perlu mengucapkan permintaan maafnya mewakili kesalahan yang terjadi di masa lalu.
“Kalau dikembalikan ke zaman Pak Harto, sekarang ini sudah banyak yang wafat, juga demikian korban '65,” ujarnya.