Mengandalkan Diaspora untuk Timnas U-17: Strategi Sepakbola atau Krisis Regenerasi?

Duel Timnas Indonesia U-17 vs Korea Utara U-17
Sumber :
  • Pssi.org

VIVA – Pemanggilan sejumlah pemain diaspora untuk memperkuat Timnas Indonesia U-17 jelang Piala Dunia U-17 2025 menuai pro dan kontra. Meski langkah ini dinilai sebagai upaya mencari keseimbangan komposisi skuad, muncul kekhawatiran soal prosedur perekrutan dan kualitas pemain yang dibawa.

Hokky Caraka Ultimatum Haters Usai Dilecehkan bareng Kekasih di Media Sosial

Dalam pemusatan latihan (TC) yang digelar di Bali sejak 7 Juli hingga 10 Agustus 2025, pelatih Nova Arianto memanggil 34 pemain, termasuk sembilan pemain diaspora dari klub luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Feike Muller (Willem II Tilburg), Lionel De Troy (Palermo), dan Nicholas (Rosenborg BK). Enam nama lainnya adalah Eizar Jacob (Sydney FC), Floris De Pagter (SC Telstar), Noha Pohan S (NAC Breda), Jona Gaselink (FC Emmen), Azadin Ayoub (Elverum FC), dan Deston Hoop (SC Telstar).

Yang menarik, beberapa dari mereka belum pernah memperkuat timnas dalam turnamen resmi. Sebagian juga merupakan pemain kelahiran 2010, yang secara usia belum masuk dalam kategori ideal untuk tampil di Piala Dunia U-17 tahun ini. Meski demikian, mereka diproyeksikan untuk tampil di ajang Kualifikasi Piala Asia U-17 tahun depan.

2 Striker Naturalisasi Baru Timnas Indonesia Ditargetkan Bisa Tampil September

Kritik terhadap kebijakan ini disampaikan oleh mantan pemain timnas, Gunawan Dwi Cahyo, yang menekankan pentingnya prosedur seleksi pemain dijalankan dengan benar.

"Harusnya pemanggilan pemain abroad harus sesuai prosedure atau melalui head scouting. Pasalnya, kalau pemanggilan melalui agen tentu hasilnya tidak sesuai," kata Gunawan, Senin (21/7).

Elkan Baggott dan Ivar Jenner Beri Kabar Baik untuk Timnas Indonesia

Ia juga menilai federasi seharusnya lebih fokus mengembangkan kompetisi usia muda dalam negeri.

"PSSI harus lebih banyak kompetisi dan merekrut pemain-pemain yang berkualitas dari kompetisi di negeri sendiri. Toh, pada kenyataannya pemain-pemain muda diaspora ini juga tidak terlalu istimewa dibanding pemain-pemain kita," tegasnya.

"Karena agen kan hanya mencari keuntungan, bukan ingin mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Jadi buat apa kita ambil pemain yang kualitasnya sama dengan pemain lokal kita," lanjut Gunawan.

Meski awalnya mendukung perekrutan pemain diaspora di kelompok umur, ia menilai kebijakan ini tidak boleh menjadi solusi jangka pendek yang terus-menerus diandalkan.

"Ok, awalnya kita rekrut pemain-pemain diaspora di kelompok umur, tapi ke depan ini juga harus menjadi catatan federasi kalau kompetisi usia muda harus diperbanyak lagi agar para pemain muda kita mempunyai jam terbang yang cukup berkualitas. Mau sampai kapan kita pakai cara-cara instan seperti ini di sepak bola usia muda?" ujarnya.

Nada serupa disampaikan oleh mantan bek Timnas Indonesia, Ismed Sofyan, yang menilai Indonesia tidak kekurangan talenta lokal.

"Gak perlu pakai pemain naturalisasi. Pemain-pemain lokal kita juga sangat baik. Level permainannya gak jauh beda. Sebenarnya kita memiliki pemain-pemain potensial, tapi mereka tidak tersentuh oleh para scouting," kata Ismed.

"Kita punya kompetisi EPA, kita punya kompetisi Suratin, dan ada pemain-pemain dari Diklat Ragunan. Sebenarnya source-nya juga banyak," tambahnya.

Menurutnya, Timnas U-17 masih punya peluang bersaing secara kompetitif di level dunia, tanpa harus bergantung pada pemain diaspora.

"Pada intinya saya gak setuju pemain muda diaspora. Menurut saya, peta kekuatan di World Cup pun gak jauh beda nantinya. Untuk usia muda, peta kekuatan tidak akan jauh berbeda. Karena ini bukan senior, kita masih bisa bersaing dengan pemain lain, ini kalau kita bicara U-17 di World Cup nanti," jelas Ismed.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya