Durjo dan Wanita di Dalam Kepalaku

Ilustrasi
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Rasanya ada seorang wanita yang bersemayam di dalam kepalaku. Setiap malam senyumnya merekah, matanya membuncah. Tawanya menggema di awang-awang. Aku seperti hilang tertelan ketakutanku sendiri. Ketakutan terhadap wanita itu. Ia sering sekali memaksaku menangis.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Ia tahu, sudah beberapa bulan ini aku sering termangu, memandangi foto pria tambun yang kerjanya hanya berjalan-jalan saja. Namanya Durjo. Kemarin lalu Durjo baru kembali dari Bumi Lakipadada, setelah sebelumnya ia menetap selama dua bulan di sana. Membersihkan debu-debu orang mati yang masih menempel di beberapa kulit kering, di antara tulang terbalut belulang. Yang pohon keluarganya saja ia tidak paham.

Hanya bau kematian yang ia abadikan di dalam kamera dan beberapa lembar buku catatannya. Ia berdalih, inilah pekerjaannya. Kalau tidak dengan ini, aku tidak akan bisa makan dan kuliah. Aku hanya bisa mengiyakan saja semua ucapannya.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

"Nonton, yuk!”

"Jam berapa?"

Jadi Dewa Mabuk Sehari

"Sore saja jam 3, siangnya aku ada urusan."

"Baiklah," jawabku ringkas.

Aku pun bersiap-siap. Mandi, berpakaian bagus, memakai wewangian. Semua itu aku lakukan hanya untuk menarik perhatian si Durjo. Pria yang entah apa daya tariknya tapi berhasil memikatku.

Sengaja aku berangkat sejam sebelumnya. Tujuannya pasti, untuk melihatnya pertama kali. Sesampainya di teater, aku tak segera menghubunginya. Sengaja aku tunda beberapa menit untuk merapikan rambut, baju, dan beberapa barang bawaanku. Setelah rapi, baru aku menghubunginya.

"Di mana?"

"Di toko baju depan teater."

Aku menghampirinya. Kegugupan tergambar jelas di wajahku. Wajah yang terdapat beberapa bintik hitam, bekas jerawat. Tapi aku tak malu. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri, begitu sibuk memperhatikan orang berlalu lalang, mencari di mana si Durjo. Tiba-tiba ia nyelonong keluar dari toko baju. Melewati aku begitu saja.

"Hey, ndut!" aku menarik tas yang ia panggul di punggungnya yang luas bagaikan sabana. Aku ingin berbaring di atasnya barang semenit saja. Merasakan hangat tubuhnya, suryanya. "Kita ke situ dulu," jawabnya sambil menunjuk toko baju lain.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya