Kisah Penjual Sate Keliling di Stasiun Depok Lama
Satu tahun ia berjualan di Pasar Jatinegara, kemudian ia pindah karena terkena program penggusuran oleh Pemerintah setempat. “Dulu diusir-usirin sama Satpol PP, soalnya pedagang-pedagang pada jualan sampai ke jalan raya. Malah trotoar sampai enggak bisa dilewati pejalan kaki, Mas.” Jelas Pak Rachmat. Akhirnya, ia pun pindah ke Pasar Rebo selama 8 bulan. Lalu pindah ke Depok, karena tuntutan biaya kontrakannya di Cibubur yang tinggi.
Setelah pindah ke Depok, ia hanya berjualan keliling di daerahnya yaitu Kelapa Dua, tepatnya di dekat Brimob Kelapa Dua. Setelah sekian lama ia berjualan keliling di daerah tersebut, ia pun pindah ke Stasiun Depok lama. Karena ia berpikir dagangannya akan laris, karena di sana banyak orang yang mungkin ingin membeli sate atau minuman dingin yang dijualnya.
Proses berpindah-pindah ini tidaklah semulus yang dikira. Masih banyak perjuangan yang harus dilalui oleh bapak berbadan gemuk ini. Contohnya, saat ia masuk ke daerah Stasiun Depok Lama, ia harus membayar sejumlah uang sewa lahan dan keamanan. Belum lagi saat meminta restu dari pedagang-pedagang sekitar yang akan menjadi teman berjualannya. Tak sedikit juga pedagang-pedagang lain yang menolaknya, karena takut jadi ada saingan lain.
Penghasilan bapak berkumis ini hanya sekitar Rp80.000 hingga Rp200.000 per hari. Ini tergantung dari hari apa ia berjualan dan sejauh mana ia berkeliling setelah lewat jam 5 sore. Dengan uangnya, ia dapat menghidupi dan menyekolahkan kedua anaknya tersebut. Tanpa keluhan, Rachmat Sugandi tetap bekerja.
Bukannya tidak lelah, pria paruh baya ini sama seperti orang pada umumnya yang dapat kelelahan. Namun motivasinya dalam berdagang adalah kebahagiaan dan pendidikan anak-anaknya. Ia tidak ingin anaknya bernasib seperti ayahnya yang hanya seorang penjual sate dan minuman keliling. (Tulisan ini dikirim oleh Muhammad Fadillah Batubara dan Legaria Marpaung, Universitas Nasional)
