Konsep Single Mux Operator Lahirkan Monopoli

Ilustrasi jaringan frekuensi.
Sumber :
  • Telkomsel

“Solusinya dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),” tegasnya.

Ishadi mengatakan, saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, pangsa pasar TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Sedangkan di Indonesia justru pangsa pasar TV FTA sebesar 90 persen sedangkan sisanya 10 persen adalah TV Kabel.

“Kita harus melihat bahwa konsep single mux yang ditetapkan di Malaysia justru tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh Pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran,” kata Ishadi.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh ATVSI, salah satunya dengan melakukan road show ke sejumlah partai politik yang ada di DPR, dengan menjelaskan konsep dan juga poin penting usulan alternatif ATVSI kepada para ketua partai politik. Sedangkan petinggi parpol mendukung gagasan ATVSI yang menolak konsep single mux.

Otonomi lembaga penyiaran

Dalam pandangan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, sebaiknya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.

Menurut Emrus, pandangan pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu, berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat.

“Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap lembaga penyiaran. Sebab operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah lembaga penyiaran memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu,” ujar Emrus.

Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov Sagala mengatakan, penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau single mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.