Peringkat Paspor China Anjlok ke 115 Dunia, Apa Pemicunya?

Ilustrasi paspor China
Sumber :
  • thesingaporepost

Seorang jurnalis menceritakan bagaimana paspornya dibatalkan oleh otoritas setempat tepat sebelum perjalanan ke Qatar. Alasannya? "Terlalu banyak penipuan di luar negeri akhir-akhir ini."

Kontrol paternalistik ini mencerminkan ketidakpercayaan PKT yang mendalam terhadap rakyatnya sendiri dan obsesinya terhadap pengawasan. Hasilnya adalah paspor yang tidak hanya kurang dihormati secara global tetapi juga gagal menjamin mobilitas di dalam wilayah Tiongkok sendiri.

Hak Konsuler Terabaikan

Ketika warga negara Tiongkok menghadapi masalah di luar negeri, kedutaan mereka seringkali tidak merespons. Seorang pria yang terdampar di bandara Malaysia setelah kehilangan paspornya tidak menerima bantuan meskipun telah dihubungi berulang kali.

Seorang pelancong lain yang ditipu di Barus kehilangan $40.000 yang disita oleh polisi setempat. Setelah mengirim 17 surel ke kedutaan Tiongkok, ia hanya menerima balasan yang samar: "Mohon bersabar."

Kisah-kisah ini mengungkap kenyataan pahit: Apa yang disebut kekuatan nasional Tiongkok tidak mencakup perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri.

Kegagalan ini berakar dari cara pemerintah Tiongkok menghabiskan miliaran dolar untuk bantuan luar negeri dan ekspansi militer, tetapi mengabaikan layanan konsuler dasar. Warga negara Tiongkok diperlakukan sebagai instrumen kekuasaan negara, bukan individu yang memiliki hak.

Ketika mereka dieksploitasi atau diperlakukan dengan buruk di luar negeri, mereka diharapkan untuk diam saja. Kepasifan ini memperkuat stereotip bahwa pelancong Tiongkok adalah sasaran empuk yang patuh, tidak tegas, dan enggan melawan ketidakadilan.

Narasi PKT tentang peremajaan nasional memang menggoda namun hampa. Pertumbuhan ekonomi, ekspansi militer, dan sandiwara diplomatik mungkin mengesankan di atas kertas, tetapi semua itu tidak banyak membantu memperbaiki kehidupan warga biasa.

Meningkatnya biaya hidup, pengangguran, dan penindasan domestik terus menghantui Tiongkok. Sementara itu, sikap agresif di luar negeri telah menyebabkan peningkatan pembatasan visa, pemeriksaan imigrasi yang lebih ketat, dan meningkatnya sentimen anti-Tiongkok secara global.
Ironi yang paling tragis adalah bahwa orang-orang yang diberi tahu bahwa mereka "berdiri tegak" di dunia justru yang paling mungkin dipermalukan di perbatasan negara lain.

Obsesi PKT terhadap kendali dan citra telah menciptakan sistem yang mengutamakan kekuasaan dangkal daripada rasa hormat yang tulus. Ketika kebangkitan suatu negara dibangun di atas sensor, paksaan, dan propaganda, warga negaralah yang menanggung akibatnya.