Ambiguitas Hukum Perpajakan RI Masih Hambat Bisnis di Tanah Air

Ilustrasi pajak
Sumber :

VIVA – Sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai sebagai salah satu dampak ambiguitas hukum perpajakan Tanah Air. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono.

Menurut dia, perbedaan penafsiran hukum perpajakan selama ini telah banyak terjadi di Tanah Air. Bahkan, hal ini telah menjadi salah satu hambatan bagi investasi bisa masuk cepat ke Indonesia. 

Prianto bahkan mencatat pada survei World Economic Forum (WEF) 2017 menempatkan peraturan pajak di Indonesia sebagai faktor kesembilan yang menghambat kemudahan berbisnis di Indonesia. 

"Ambiguitas hukum perpajakan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang tuntas,” kata Prianto dalam webinar Analisis Kasus PGN vs DJP: Pemeriksaan & Metode Penafsiran Hukum Pajak, Rabu 13 Januari 2021. 

Bahkan, Prianto juga menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja kluster perpajakan hanya mengatur beberapa hal terkait kemudahan investasi. Tanpa menyelesaikan persoalan ambiguitas hukum perpajakan yang sebetulnya juga menjadi penghambat investasi di Indonesia.

Untuk itu, kasus yang saat ini tengah membelit PGN terkait tahun pajak 2012 dan 2013 dapat menjadi salah satu buktinya. Dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan tersebut sehingga PGN mesti membayar Rp3,06 triliun.

Prianto menyebut, sengketa ini muncul lantaran PGN dan Ditjen Pajak berbeda penafsiran soal status gas bumi sebagai objek pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PGN dan Ditjen Pajak dinilai sama-sama mengacu pada bukti yang kuat dan berdasar pada peraturan pajak. 

“Tapi kedua pihak memiliki penafsiran yang berbeda atas peraturan perpajakan tersebut,” ujarnya. 

Alhasil, majelis hakim Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan PGN. Sementara majelis hakim MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak.

Baik PGN, Ditjen Pajak, dan MA sama-sama merujuk pada Pasal 4a ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya. Ketentuan tersebut menyatakan jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu termasuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Nah, kata “yang diambil langsung dari sumbernya” ini menimbulkan multitafsir.