Refleksi 80 Tahun Indonesia: Ketimpangan Ekonomi Semakin Buruk

Ketua Dewan Pakar ASPRINDO, Didik S Damanhuri
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Ketua Dewan Pakar Asprindo, Didin Damanhuri menyatakan kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sama halnya dengan kondisi global, yang dipicu dengan berbagai masalah, seperti kondisi geopolitik hingga tarif yang dikeluarkan Donald Trump.

"Banyak negara lain, yang sebelumnya sepadan dengan Indonesia, yang pada tahun 1970-an membangun secara sistematis seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand mulai meninggalkan Indonesia. Korea Selatan saat ini PDB per kapitanya sudah Rp 30 ribu, Malaysia sudah Rp 14 ribu, dan Thailand sudah Rp 8 ribu. Sementara Indonesia masih Rp 5 ribu," kata Didin, Minggu 3 Agustus 2025.

Memang, lanjutnya, ukuran PDB per kapita tidak menjadi cermin atas kesejahteraan tetapi merupakan indikator awal kemajuan suatu bangsa.

Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo, Didin S Damanhuri (batik)

Photo :
  • Istimewa

"Indonesia pun mengalami ketertinggalan dalam hal kesejahteraan masyarakat bawah. Tiga negara itu dulu sama, tapi saat ini kondisinya di atas kita. Bisa diukur dari Gini Ratio atau index oligarki Jeffrey Winters. Saat dirilis tahun 2014, index oligarki Indonesia adalah nomor dua terburuk. Bisa saja saat ini Indonesia adalah yang terburuk," ucapnya.

Sebagai informasi, dalam bukunya "Oligarchy" (2011), Jeffrey Winters juga memaparkan bagaimana stratifikasi kekayaan di Indonesia begitu besar. Jarak kekayaan antara 40 orang terkaya Indonesia dengan GDP rata-rata penduduk Indonesia adalah 1.056.000 kali lipat pada tahun 2024.

Angka tersebut sangat besar jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang perbandingannya berjumlah 20.000 kali lipat. Disparitas yang demikian besar tersebut kemudian bertemu dengan realitas politik bahwa kekayaan (wealth) merupakan sumber daya kekuasaan yang sangat kuat dan fleksibel. Konsentrasi kekayaan ini dengan sendirinya mengakibatkan adanya konsentrasi kekuasaan.

"Jadi sudah lah tertinggal, ketimpangannya pun terburuk," kata Didin.

Lebih lanjut, ia mengasumsikan, jika pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia paska reformasi adalah 5 persen, maka perlu dipertanyakan siapa yang mendapatkan manfaat dari pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut.

"Kenyataannya, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi itu, hanya banyak dimanfaatkan oleh sekelompok kecil orang, yang kita sebut oligarki itu. Bahkan credit suisse pada tahun 2003 mengeluarkan data, kekayaan 4 orang paling kaya Indonesia setara dengan 100 juta orang Indonesia. Mungkin sekarang lebih parah lagi," ujarnya.