Kemenko PM Ungkap Fondasi Utama Perumusan Ekonomi Kerakyatan
- Dokumentasi Kemenko PM.
Jakarta, VIVA – Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) menegaskan bahwa dialog yang terbuka dan berkelanjutan dengan seluruh lapisan masyarakat sebagai fondasi utama dalam merumuskan kebijakan ekonomi kerakyatan.
Deputi Koordinasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pelindungan Pekerja Migran Kemenko PM, Leontinus Alpha Edison, mengungkapkan bahwa kebijakan yang efektif hanya bisa lahir dari pemahaman mendalam atas aspirasi dan tantangan nyata yang dihadapi masyarakat di lapangan.
“Pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak bisa merumuskan kebijakan dari menara gading. Kami di Kemenko PM percaya bahwa kebijakan yang efektif lahir dari percakapan yang tulus dan terbuka dengan masyarakat,” ujar Leontinus di Kupang, NTT, dikutip dari keterangannya, Rabu, 1 Oktober 2025.
Hal ini disampaikannya setelah kegiatan "Berdaya Bersama Kupang" yang baru saja digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan mempertemukan Kemenko PM dengan ratusan pelaku ekonomi kreatif, gig workers, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta tokoh komunitas dan lintas agama.
Leontinus menjadikan acara di Kupang sebagai contoh nyata bagaimana dialog menjadi jembatan antara pemerintah dan warga. Kegiatan yang melibatkan lebih dari seribu peserta dari berbagai latar belakang tersebut, menurutnya, adalah manifestasi komitmen pemerintah untuk tidak hanya berbicara kepada masyarakat, tetapi berbicara bersama masyarakat.
“Dari dialog di Kupang, kami mendapatkan masukan langsung mengenai tantangan yang dihadapi gig workers dan pelaku ekonomi kreatif, seperti kebutuhan akan kejelasan status kerja, akses terhadap perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, hingga standarisasi keterampilan agar bisa bersaing di pasar global,” jelasnya.
BRI optimistis KDMP mampu menjadi tonggak ekonomi kerakyatan
- BRI
Ia menambahkan, pendekatan dialogis memastikan bahwa program pemerintah tidak bersifat top-down, melainkan kolaboratif dan partisipatif. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sejak awal, potensi keberhasilan program menjadi lebih tinggi karena adanya rasa kepemilikan bersama dari masyarakat. Model dialog partisipatif ini sudah lebih dulu diuji coba di Palembang, Yogyakarta, dan Bandung.
“Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan komunitas lokal adalah cetak biru untuk pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkas Leontinus.
Sebagai informasi, kontribusi sektor ekonomi kreatif di NTT semakin nyata. Perhitungan terakhir menunjukkan nilai tambah ekonomi kreatif tahun 2024 mencapai Rp934,7 miliar, dengan jumlah pelaku kreatif terdaftar sekitar 10.803 orang.