Gempa Maroko Tinggalkan Kisah Seorang Guru Kehilangan Seluruh Muridnya

Gedung-gedung runtuh akibat gempa di Maroko.
Sumber :
  • AP Photo/Mosaab Elshamy.

Gempa Maroko.

Photo :
  • Fernando Sanchez/Europa Press via AP.

"Khadijah adalah favorit saya. Dia sangat baik, pintar, aktif dan suka menyanyi. Dia sering datang ke rumah saya, dan saya suka belajar dan berbicara dengannya".

Nesreen menyebut murid-muridnya sebagai "malaikat", anak-anak penuh hormat yang bersemangat untuk belajar. Meski berjuang melawan kemiskinan dan krisis biaya hidup yang parah, anak-anak dan keluarga mereka menganggap bersekolah sebagai "hal terpenting di dunia".

"Kelas terakhir kami diadakan pada Jumat malam, tepat lima jam sebelum gempa terjadi," kenang Nesreen.

"Kami sedang mempelajari lagu kebangsaan Maroko, dan berencana menyanyikannya di depan seluruh sekolah pada Senin pagi."

Meski suaranya tenang, Nesreen menderita trauma. Dia masih belum bisa memproses apa yang terjadi pada murid-muridnya dan sekolahnya.

"Saya tidak tidur; saya masih syok," ujarnya. "Orang-orang menganggap saya salah satu yang beruntung, tapi saya tidak tahu bagaimana saya bisa terus menjalani hidup."

Nesreen senang mengajar bahasa Arab dan Prancis kepada anak-anak di Adaseel, sebuah desa yang dihuni oleh kaum Amazigh, penduduk asli Afrika Utara yang sebagian besar berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yaitu Tamazight.

"Bahasa Arab dan Prancis sangat sulit dipelajari, namun anak-anak sangat cerdas, dan mereka hampir fasih dalam kedua bahasa tersebut," kenangnya.

Nesreen berencana untuk melanjutkan kariernya sebagai guru - dia berharap pemerintah Maroko akan membangun kembali sekolah Adaseel yang runtuh akibat gempa.

Sebanyak 530 institusi pendidikan mengalami kerusakan dalam berbagai tingkat keparahan. Beberapa di antaranya roboh total atau mengalami kerusakan struktural yang parah, menurut pernyataan resmi.

Pemerintah Maroko untuk sementara waktu menghentikan kegiatan belajar mengajar di daerah yang paling parah terkena dampak gempa, yakni di Al-Houz, Chichaoua dan Taroudant.

"Mungkin suatu hari nanti ketika mereka [pemerintah] membangun kembali sekolah dan kelas-kelas kembali dibuka, kita bisa mengenang 32 anak tersebut dan menceritakan kisah mereka," kata Nesreen dengan nada lirih.