Kenang Peran Letkol Dokter Soebandhi Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
- IDI
Selepas lulus dokter, Soebandi, kembali ke Jawa Timur dan langsung terjun di dunia militer dengan mengikuti pendidikan tentara PETA dan lulus sebagai Eise Shodanco atau Perwira Kesehatan Batalyon dan di tempatkan di Lumajang, setahun kemudian pangkatnya naik menjadi Eise Chudanco, menjabat sebagai Kepala kesehatan seluruh Batalyon PETA di Karesidenan Malang.
Pada 1945 setelah Jepang kalah perang, PETA dibubarkan Soebandi beralih menjadi dokter tentara di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas di berbagai rumah sakit, mulai Probolinggo, Lumajang dan Malang.
Rumah Sakit Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Jember yang sekarang bernama RS. Baladhika Husada yang didirikan tahun 1946 menunjuk dr. Soebandi, sebagai kepala rumah sakit pertama kalinya.
Karena di masa itu seorang tentara yang sekaligus dokter amat langka sehingga tenaga dr. Soebandi sangat dibutuhkan tidak hanya di kawasan Jawa Timur tetapi juga dilibatkan sampai ke Jawa Barat untuk bergabung dengan kesatuan lain ketika melakukan peperangan dengan pasukan sekutu.
Setelah bertugas di berbagai kesatuan pada Desember 1948 Letkol dr. RM, Soebandi, ditugaskan sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan mendampingi komandan Letkol. Mochamad Sroedji. Selain sebagai wakil komandan Soebandi merangkap sebagai Residen Militer Besuki dan dokter militer.
Sesuai hasil perjanjian renville semua pasukan Brigade III Damarwulan serta kesatuan lain di wilayah Besuki hijrah ke Blitar. Namun kemudian Belanda mengingkari isi perjanjian Renville bahkan melakukan Agresi Militernya ke dua dengan melakukan serangan besar-besaran. Tanggal 29 Desember 1948 atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, pasukan yang ada di Blitar diminta untuk kembali ke daerah asal dengan melakukan aksi wingate dan bergerilya melawan Belanda.
Brigade III Damarwulan kembali ke wilayah Besuki menuju Socopangepok di lereng Argopuro untuk membangun kekuatan baru. Sepanjang perjalanan sering terjadi kontak senjata, karena minimnya amunisi dan persenjataan maka pasukan Damarwulan kewalahan dan banyak menjadi korban.
Dini hari tanggal 8 Pebruari 1949 pasukan Damarwulan yang berjumlah kurang dari 100 orang kelelahan dan kelaparan sehingga di pagi buta istirahat di Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember yang berada di tepi hutan. Ternyata keberadaan rombongan ini diketahui oleh mata-mata dan dilaporkan kepada induk militer Belanda di Jember.