Menakar Taktik Kikis Teroris

Operasi penangkapan terduga teroris beberapa waktu lalu (foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Menurut dia, BNPT akan menangani mereka ketika sudah divonis, lalu menjadi narapidana, kemudian diserahkan ke lembaga pemasyarakatan. “Nah baru lah kita masuk di situ, program deradikalisasi,” ujarnya kepada VIVA.

Saat ini, menurut Suhardi, BNPT melaksanakan dua program besar. Pertama, program deradikalisasi yang ditujukan kepada para narapidana teroris di dalam lapas, mantan napi teroris di luar lapas atau yang sudah terpapar radikalisme, beserta keluarganya.

Dari sekitar 600 lebih mantan napi teroris yang sudah keluar dari lapas itu, 128 di antaranya itu sudah menjadi narasumber BNPT. Hanya tiga orang yang mengulangi perbuatannya, yaitu dalam  kasus Bom Thamrin, Bom Cicendo, dan Bom Samarinda. “Itu artinya program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT itu bagus atau tidak? Silakan masyarakat yang menilai sendiri,” ujar Suhardi.

Program kedua yang dijalankan BNPT yaitu  kontraradikalisasi. Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum terpapar radikalisme, seperti di kalangan pemuda, perempuan. Program dilakukan antara lain dengan ceramah, sosialisasi.

“Kami kan punya 32 FKPT (Forum Kerjasama Perguruan Tinggi) di seluruh Indonesia. Mereka itu memberikan guidance kepada seluruh stakeholder, kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berhati-hati dengan paham-paham radikal,” ujar Suhardi.

Radikalisme Anak Muda

Soal radikalisme, sejumlah lembaga pernah melakukan penelitian tentang pemahaman radikal di kalangan anak muda. Satu di antaranya penelitian oleh Setara Institute. Lembaga ini melakukan survei terhadap 760 responden dari 171 SMA negeri di Jakarta dan Bandung, pada 4-18 April 2016. Hasilnya menunjukkan, terdapat 61,6 persen siswa yang toleran, 35,7 persen yang intoleran pasif/puritan, 2,4 persen yang intoleran aktif/radikal, dan 0,3 persen yang berpotensi menjadi teroris.

“Meskipun angka (radikal) itu kecil tapi kan itu menjadi warning bagi kita semua. Peringatan bahwa di kalangan anak muda kita ada yang tertarik dengan ide-ide radikal bahkan ada yang tertarik dengan kelompok teror,” ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos saat dihubungi VIVA, Kamis 17 Mei 2018.

Temuan lainnya datang dari Maarif Institute. Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga tersebut di beberapa kota, pada tahun 2011, ditemukan bahwa gejala radikalisme sudah masuk ke sekolah.
Ada tiga pintu masuk radikalisasi di sekolah. Di antaranya, faktor eksternal akibat kebijakan sekolah terlalu longgar, serta tidak adanya  filter yang cukup kuat. Kemudian, kegiatan ekstra kurikuler menjadi akses bagi elemen luar untuk masuk menebar benih radikal di sekolah.