Tabungan Perumahan Rakyat, untuk Siapa?
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
Apindo keberatan iuran Tapera dibebankan ke dunia usaha.
Mereka mengeluh, masukan-masukan yang disampaikan ke pemerintah dan parlemen terhadap rancangan payung hukum itu seperti tidak dianggap. Padahal, dijelaskan dasar penolakan karena Tapera dianggap duplikasi JHT yang sebelumnya sudah dipelopori BPJS Ketenagakerjaan.
Apindo keberatan iuran Tapera dibebankan ke dunia usaha, sebab akan menambah pungutan perusahaan dan pekerja. Padahal, beban pungutan di perusahaan atau pekerja atas persentase tertentu dari penghasilan pekerja sudah sangat besar. Karena itu, penambahan pungutan, berapa pun besarnya, akan semakin menjadikan dunia usaha tidak kompetitif.
Selama ini, beban pungutan yang sudah ditanggung perusahaan adalah 18,24 persen sampai 19,74 persen dari gaji bulanan pekerja.
Pengupah saat ini dibebani iuran BPJS Ketenagakerjaan yang meliputi JHT sebesar 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24 persen sampai 1,74 persen, dan Jaminan Pensiun dua persen.
Belum lagi BPJS Kesehatan sebesar empat persen dan cadangan pesangon sekitar delapan persen. Ditambah lagi rata-rata kenaikan upah dalam lima tahun terakhir sekitar 14 persen.
"Maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan perundang-undangan bisa mencapai sekitar 35 persen," katanya.
Hariyadi menegaskan, seharusnya program Tapera tidak perlu lahir, karena pola dan sistem tabungan investasi ini tidak jauh berbeda dengan JHT BPJS Ketenagakerjaan.
Pengusaha saat ini memilih menunggu pembahasan kembali UU Tapera untuk mencari solusi dan jalan keluar, setelah sebelumnya berwacana melakukan judicial review bersama-sama UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, Hariyadi enggan memerinci simulasi apa yang sedang dicari jalan tengahnya. "Kami meminta tidak ada tambahan iuran dari pengusaha. Saat ini sedang dalam pembahasan. Kami masih menunggu hasil pembahasan sebelum melakukan uji materi," ujarnya.
Selanjutnya...Punya rumah jadi mimpi buruh
Mimpi Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal berharap pengusaha tidak terburu-buru menolak Tapera karena mengesankan tidak peduli pekerjanya tinggal di kontrakan yang sempit, dan tidak punya tempat tinggal saat pensiun nanti.
Saat berbincang dengan VIVA.co.id, Said menuturkan, memiliki rumah saat ini hanya mimpi bagi buruh, terutama MBR. Bagaimana tidak? Rumah tapak tipe 27 dan tipe 30 paling murah dibanderol Rp120 juta. Dengan keharusan uang muka 30 persen, setidaknya buruh harus menyiapkan uang Rp36 juta.
Tak hanya itu, angsuran Kredit Pemilikan Rumah selama 10-15 tahun rata-rata Rp1,2-1,5 juta per bulan juga menjadi beban bagi buruh. Sebab, dengan upah minimum Rp3,1 juta, buruh tidak mungkin menganggarkan lebih dari 40 persen upah mereka untuk membayar cicilan rumah.
"Buruh, MBR, dan kelas menengah ke bawah butuh rumah sebagai kebutuhan primer yang murah, bersih, dan nyaman," kata dia.
Said menegaskan, buruh sangat mendukung UU Tapera yang memiliki tujuan mulia, namun tidak setuju dengan isi UU itu. Selain tidak jelas, ada kesan pemerintah dan DPR hanya mau mengumpulkan uang rakyat saja atas nama Tapera.