Setop Kekerasan di Dunia Pendidikan
- ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna
Berikutnya, budaya kekerasan merajalela>>>
Budaya kekerasan merajalela
Contoh kasus kekerasan yang telah disebutkan, seperti hukum jilat WC, guru tampar murid, murid pukul guru, beserta data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setidaknya cukup membuka mata bahwa dunia pendidikan kita darurat kekerasan. Hal yang lebih menampar adalah kenyataan bahwa di antara sederet praktik kekerasan itu telah menghilangkan nyawa seseorang.
Lantas, Anda mungkin bertanya-tanya sudah sebobrok inikah moral anak bangsa yang secara brutal melampiaskan dorongan amarahnya?
Mengapa, justru di tempat di mana seharusnya anak-anak dididik, ditempa menjadi insan berakhlak mulia, terdapat contoh yang menimbulkan ironi? Di mana akal sehat dan hati nurani, ketika berhadapan dengan situasi yang tak seirama dengan keinginan? Mengapa semudah itu melakukan tindak kekerasan?
Psikolog, sekaligus pendidik dan inisiator jaringan Semua Murid Semua Guru, Najelaa Shihab mengatakan, akar masalah dari kekerasan yang seolah menggurita di institusi pendidikan adalah budaya.
Masyarakat Indonesia terbiasa melakukan cara-cara kekerasan dalam mendisiplinkan anak. Artinya, praktik kekerasan ini telah ada sejak kurun waktu yang lama dan tanpa sadar diwariskan secara turun-temurun.
“Masalah utama di dunia pendidikan kita, itu budaya kekerasan. Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan. Bahkan, anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” kata Najelaa kepada VIVA, beberapa waktu lalu.
Ketua KPAI Dr. Susanto, MA, memiliki pandangan yang sejalan dengan Najelaa, yaitu kekerasan terjadi karena mindset. Tak sedikit, guru yang menganggap bahwa pendekatan kekerasan sebagai cara efektif untuk menegakkan kedisiplinan. “Padahal, meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai pelanggaran,” ujar Susanto dalam pesan tertulis pada VIVA.
Ditegaskan Najelaa, masyarakat selama ini baru memandang kekerasan menjadi isu darurat ketika terdapat korban, didukung derasnya pemberitaan media. Padahal, kasus-kasus yang selama ini terkuak hanyalah puncak dari gunung es semata. Masih banyak kasus-kasus kekerasan di sekolah yang tidak terekspos media.