Bebas Batas UU ITE

Ilustrasi palu pengadilan.
Sumber :

VIVA.co.id â€“ Jagad dunia maya Tanah Air dalam satu dua hari terakhir ini sedang ramai mengulas dan membahas hasil revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, disingkat UU ITE. 

Setelah beberapa kali molor, akhirnya pada 27 Oktober 2016, UU ITE direvisi dan disepakati oleh pemerintah dan DPR. Sebulan setelahnya, sesuai aturan perundangan yang berlaku, UU ITE hasil revisi itu otomatis berlaku menjadi undang-undang. 

Revisi ini sejatinya bentuk respons atas desakan publik, terutama pegiat internet dan masyarakat sipil yang ingin ada perubahan atas UU ITE. 

Setidaknya, tujuh poin penting yang berubah dalam revisi UU ITE, yaitu mempertahankan pasal tentang Pencemaran Nama Baik yang termuat dalam pasal 27 ayat 3, menurunkan ancaman pidana dan denda, sampai menambah ketentuan hak untuk dilupakan, atau right to be forgotten. 

Poin pertama, untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), maka dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan terkait istilah ‘mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses.
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan delik pencemaran nama baik dan delik fitnah yang diatur dalam KUHP.

Poin kedua, menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan, yakni:
a. Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun. Sementara, penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta. 
b. Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan, dari paling banyak Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.

Poin ketiga, pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam undang-undang. 
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.