China di Asia: Kehadiran Rentenir di Negara-negara Berkembang

Lapangan Tiananmen, China.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Investasi China yang menyamar sebagai lender of last resort disinyalir telah terbukti merugikan seluruh Asia, bahkan sub-kawasan tertentu di benua ini. Terlepas dari geografi mereka, negara-negara di Asia telah terjerat dalam strategi ekonomi China yang bersifat ‘memaksa’. Negara-negara ini juga merupakan negara pertama yang ikut serta dalam kereta ekonomi China.

Faktanya, proyek andalan China yang bernilai miliaran dolar, Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), pertama kali diluncurkan di Asia pada tahap awal. Namun, taktik China dalam memberikan pinjaman berlebihan tidak hanya berlaku pada wilayah tertentu di benua ini; Sub-wilayah termasuk Asia Selatan, Tenggara dan Tengah, semuanya telah menjadi mangsa dari daya tarik keuangan China.

Dilansir The Hongkong Post, Kamis 2 Mei 2024, taktik pinjaman China disinyalir telah memasukkan serangkaian strategi di negara-negara Asia termasuk suku bunga tinggi dan persyaratan ketat yang menerapkan kondisi ekstrem sebagai pengganti gagal bayar. Hal ini tidak hanya membebani peminjam dengan tingkat utang yang tidak berkelanjutan namun juga menimbulkan konsekuensi ekonomi yang parah.

Tidak seperti pemberi pinjaman tradisional seperti Bank Pembangunan Multilateral (MDB), yang biasanya menawarkan pembiayaan lunak dengan suku bunga rendah dan jangka waktu pembayaran yang fleksibel, pinjaman China sering kali bersifat komersial, yang memberikan suku bunga lebih tinggi dan jangka waktu pembayaran lebih pendek.

Strategi Pemaksaan Ekonomi China

Aspek-aspek seperti perjanjian Pertukaran Mata Uang yang merupakan perjanjian bilateral antara dua negara yang memfasilitasi pertukaran satu mata uang dengan mata uang lain dengan nilai tukar yang telah ditentukan, terbukti menjadi bagian penting dari strategi pemaksaan ekonomi China di antara negara-negara berkembang di Asia.

Kota Beijing, China.

Photo :
  • Pixabay

Selain upaya tersebut, dengan terlibat dalam kesepakatan pertukaran mata uang, Beijing juga telah memperdalam hubungan ekonominya dengan negara-negara berkembang untuk memperluas pengaruh politiknya dalam pengambilan keputusan yang berorientasi pada kebijakan dalam negeri.

Perjanjian-perjanjian ini, yang seringkali memerlukan koordinasi dan kerja sama yang erat antar bank sentral, telah meningkatkan komunikasi dan penyelarasan kebijakan ekonomi yang tidak akan diberlakukan jika tidak ada perjanjian swap mata uang.