Kisah Perjalananku untukmu Bunda

Bulan
Sumber :
  • Space.com

VIVA.co.id – Bunda, selalu kurindu engkau. Pada bulan yang mengambang, terselip di antara bintang-bintang yang mengerling jenaka dan tertutup awan yang terapung resah. Padanya kubisikan lirik, tentang air mata yang tak pernah mengering setiap kali mengeja namamu. Padanya pula kutambatkan elegi tentang waktu yang tak pernah kembali.

Kerinduan pula yang membawaku pulang. Sudah lama aku tak luruh di atas pusaramu, sambil menggumam sekelumit doa dan menyiram air melati. Lalu ayah akan kembali mengenang keanggunanmu, bercerita tentang keindahan bulan dengan segala mitosnya.

Bulan selalu menempatkanku sebagai anak kecil. Bahkan hingga usiaku yang ke-21 tahun ini, Ayah masih memperlakukanku layaknya anak balita. Kadang ia menyanyikan lagu “Ambilkan Bulan, Bu” dengan nada dasar C sehingga lengkingannya menyundul genting, karena tak kuat menyelaraskan suara dengan petikan gitarku. Tak hanya itu, ketakutanku karena selalu dikuntit bulan ketika masih TK, juga ia ungkit terus. Mungkin hanya itu cara yang ia tahu untuk menggodaku.

Malam ini, dalam perjalan pulang, akan kuceritakan padanya tentang bulan sabit yang berlari mengikuti bus yang kutumpangi. Saat bus melaju kencang, bulan ikut kencang. Begitu pula ketika sopir mengurangi kecepatan, bulan seperti ikut mengerem. Di tikungan tajam tiba-tiba bulan menghilang. Dan akan kuakhiri ceritaku dengan menjelaskan padanya bahwa bulan tak bisa berbelok. Bukankah itu oleh-oleh yang istimewa untuknya, Bunda?

Di sebelahku, seorang perempuan cantik tengah menatapku. Aku tahu dari kaca jendela. Mungkin aku terlalu percaya diri, karena bisa saja ia juga sedang memandang bulan sepertiku. Kenyataannya ia memang sedang memerhatikanku. Ia memasang senyum ketika kumenoleh padanya. "Turun di mana?" tanyanya ramah. "Semarang," jawabku datar. "Jauh juga, ya?" Entah, itu pertanyaan atau komentar. Yang aku tahu ia masih tersenyum, level 9 sepertinya. "Tujuan kita sama," ujarnya. "Jauh juga, ya?" balasku. Itu sedikit lebih sopan dari pada berkomentar aku tidak tanya. Lagi pula, jika tujuannya sama, kenapa harus mengomentari jauh-dekatnya.

Dalam perjalanan, sudah lazim orang berbasa-basi. Membuka percakapan dengan kalimat baku, atau berkomentar atas sesuatu yang sebenarnya tak perlu. Perempuan di sebelahku memang pada akhirnya tertawa. Aneh juga, menurutku tak ada yang lucu. Bagiku kesunyian lebih indah dari pada berbicara tentang sesuatu yang tak berguna.