HIPMI Khawatir Kondisi Industri Hulu Akibat Batalnya BMAD

Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Jakarta, VIVA – Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk partially oriented yarn dan draw textured yarn (POY-DTY). Hal ini dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan industri hulu tekstil nasional serta menimbulkan efek domino yang negatif bagi perekonomian.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira menyayangkan keputusan tersebut. Padahal Indonesia memiliki keunggulan langka berupa ekosistem tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, selain China dan India.

Dia mengungkapkan kekhawatiran terhadap kondisi industri hulu seperti produsen benang dan kain greige yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami tekanan akibat lonjakan impor produk murah dari negara-negara seperti China dan Vietnam. Produk-produk tersebut kerap dijual dengan harga dumping, di bawah biaya produksi.

“Persaingan tidak seimbang ini sangat merugikan industri dalam negeri, terutama segmen hulu yang padat modal dan padat karya,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Menurut Anggawira, penolakan terhadap kenaikan tarif BMAD membuat pasar domestik berisiko dibanjiri produk impor murah, yang pada akhirnya dapat mematikan industri hulu tekstil nasional. Padahal industri hulu ini memainkan peran sentral sebagai pemasok bahan baku utama bagi sektor hilir, sehingga tekanan terhadap sektor ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat utilisasi mesin pabrik, PHK massal, hingga fenomena deindustrialisasi.

“Kalau hulu tekstil mati, hilir akan mandek. Jika pabrik-pabrik hulu tutup, ribuan pekerja akan kehilangan mata pencaharian,” katanya.

Ia menekankan bahwa dampak kebijakan ini tidak hanya bersifat ekonomi semata, tetapi juga strategis, karena dapat memperbesar ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor, mengikis daya saing industri nasional, serta mengganggu rantai nilai tekstil yang selama ini menjadi salah satu prioritas dalam program hilirisasi dan substitusi impor pemerintah.

Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) juga telah mengusulkan kenaikan tarif minimal 20 persen dengan mempertimbangkan keseimbangan sektor hulu-hilir. Menurutnya, itu sudah sangat rasional dan adil, karena juga mengakomodir sektor hilir yang selama ini banyak bergantung pada bahan baku impor.

Eks Ketum HMI Sebut Bahlil Cepat Tanggap Respons Pesan Prabowo soal Tambang di Raja Ampat

“Sayangnya, dengan ditolaknya usulan ini, tampak bahwa kepentingan sektor hilir lebih diakomodasi, sementara sektor hulu dibiarkan bersaing secara tidak adil dengan produk luar negeri yang seringkali mendapat subsidi dan fasilitas fiskal dari negara asal,” ujarnya.

Pihaknya pun mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini dengan mengedepankan prinsip industrial equilibrium, bukan hanya mempertimbangkan harga konsumen jangka pendek atau tekanan dari kelompok tertentu. Artinya, keputusan yang terlalu memanjakan sektor hilir melalui akses impor bebas justru akan menjadi bumerang bagi kelangsungan hilir itu sendiri dalam jangka menengah-panjang.

Anindya Bakrie: Pertambangan Jangan Hanya Dikuasai Segelintir Orang, Harus Bermanfaat Secara Luas

"Tanpa intervensi tarif protektif yang adil, kita berisiko menghadapi kematian industri hulu, karena tidak bisa bersaing di harga. Tergerusnya utilisasi pabrik nasional, naiknya angka PHK dan migrasi industri ke luar negeri, serta terganggunya keberlanjutan pasokan ke sektor hilir itu sendiri," tutup dia

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Haikal Hasan

Produk Non-Halal Masih Bisa Masuk Dipasarkan ke Indonesia, Babe Haikal Beri Penjelasan

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan produk nonhalal dari luar negeri dapat masuk ke Indonesia sepanjang mencantumkan keterangan tidak halal.

img_title
VIVA.co.id
30 Juni 2025