Indonesiasentris Foundation: Thayeb Gobel Bapak Budaya Korporasi dan Teknologi

Thayeb Gobel
Sumber :
  • istimewa

Jakarta, VIVA – Jika Presiden RI ke-3, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia, maka kredensial Thayeb Mohammad Gobel adalah Bapak Budaya Teknologi dan Korporasi Indonesia. Keduanya sama-sama putra Sulawesi: BJ. Habibie berasal dari Parepare; Thayeb Gobel dari Gorontalo. 

Hal itu ditegaskan Alfi Rahmadi, Chairman Indonesiasentris Foundation, fasilitator terselenggaranya bedah buku “Praksis Pancasila, Pengamalan Ideologi di Perusahaan Gobel” (2024) karya Nasihin Masha, di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (17/06/2025). 

Nara sumbernya terdiri dari Rachmat Gobel, Chairman & Shareholder Gobel Group sekaligus putra Thayeb Mohammad Gobel, pendiri Gobel Group; Prof. JM.Muslimin, Kepala Program Doktoral Sekolah Pascasarjana (Sps) UIN Jakarta; Dr. Husni Tejasukmana, Dekan FST UIN Jakarta; Prof. Syopiansyah Jaya Putra, Rektor Institut Teknologi Indonesia; serta Nasihin Masha, sang penulis buku tersebut dan jurnalis senior. 

Menurut Alfi Rahmadi yang menghubungkan pihak Sps dan FST UIN Jakarta dengan Nasihin Masha, ketokohan Thayeb Gobel lebih senior dari sisi usia maupun kepeloporan.  

Lahir pada 1936, lompatan BJ Habibie membangun teknologi Indonesia terjadi pada akhir dekade1970an saat menjabat Kepala Badan Pengusahaan Batam dan Menteri Riset dan Teknologi RI pada 1978. 

Thayeb Gobel lahir pada 1930, telah mengawali budaya teknologi dan korporasi sejak 1954 saat ia mendirikan PT Transistor Radio Manufacturing di Cawang-Jakarta, untuk memproduksi merek radio “Tjawang” dan merakit Bemo, kendaraan roda tiga sebagai angkutan umum sekaligus traktor untuk mendukung mekanisasi pertanian. 

Itulah embrio Gobel Group yang kelak lebih dikenal produsen barang elektronik Panasonic Indonesia melalui rintisan perusahaan patungan dengan Matsushita Electric Industrial (Panasonic Corporation) asal Jepang pada 1970. 

Nasihin Masha

Photo :
  • istimewa
Dibutuhkan Acuan Standar dalam Penerapan Perjanjian Berbasis Syariah

“Dalam kepeloporan budaya teknologi dan korporasi, kami mencatat minimal dua poin kontribusi besar Thayeb Gobel bagi bangsa Indonesia. Beliau bingkai semuanya dengan pengamalan lima sila beserta nilai-nilai Pancasila dalam dunia industri Indonesia modern. Beliaulah yang meletakan fondasi bagaimana penerapan Pancasila dalam kehidupan industri,” papar Alfi Rahmadi di Jakarta (24/06), beberapa hari setelah bedah buku berlangsung. 

Salah satu pelopor manajemen stakeholder di Asia-Afrika 

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, Buku Baru Brian Khrisna yang Menginspirasi Perjuangan Hidup

Poin pertama, sebut Alfi,  jika buku karya Nasihin Masha diperdalam, maka studi tentang Grup Gobel dan Thayeb Gobel dapat menjadi salah satu wakil penting dari negara Asia-Afrika pasca zaman dekolonialisasi di era Perang Dingin tentang manajemen stakeholders ekonomi politik melalui pengalaman dunia industri. 

“Sejarah dunia mencatat, kekacauan politik dan hukum dekolonialisasi pada era Perang Dingin disumbang dari ketidakmampuan rezim pemerintah bagaimana mendistribusikan akses dan kualitas sumber daya yang bernilai ekonomi selain disumbang dari lemahnya tata kelola SDM dan teknologi oleh internal kelembagaan industri swastanya,” papar Alfi Rahmadi. 

6 Pelajaran Berharga dari Buku Rich Dad Poor Dad untuk Mencapai Kesuksesan Finansial, Fix Bikin Tajir!

Melampaui praktik Humas, sambung Alfi, transformasi manajamen stakeholders adalah berbasis kinerja program atau proyek, manfaat teknologi, serta etika dan ekologi, yang melibatkan eksternalitas lembaga, terutama pihak yang terkena dampak proyek secara langsung. 

Ruang lingkup eksternal dan internal manajemen stakeholder—dalam dunia industri dan bisnis—merupakan integrasi minat dan harapan para karyawan, pemasok, pelanggan, dan komunitas dari adanya program atau proyek suatu lembaga bisnis.  

“Praktik tersebut berkembang di dunia Barat, terutama di A.S sejak dekade 1960 berpuncak pada dekade 2000-an, yang pada praktiknya musti dibingkai dengan budaya perusahaan untuk keberlangsungan atau jangka panjang,” terang Alfi Rahmadi berdasarkan studinya tentang karya Stephen Robbins & Tim A. Judge (2013), Ronald Marchand (1998), dan Edward Freeman (1984). 

Di jagat dunia industri Indonesia, kepeloporan manajemen stakeholder Gobel Group, sangat nampak pada keputusan penandatanganan kerjasama bisnis PT Transistor Radio Manufacturing dan Matsushita Electric Industrial Co., Ltd pada tahun 1960. 

“Keputusan itu progresif, karena hasilnya luar biasa dahsyat,” catat Alfi Rahmadi, yang juga Tenaga Ahli SDM dan Riset Manajemen Talenta Nasional Bappenas RI 2024.

Diantara hasilnya: sangat membantu rakyat Indonesia untuk menikmati perhelatan Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta 1962 melalui TV layar hitam-putih yang mereka produksi; dan mereka menjadi pelopor produsen TV berwarna di tanah air yang produk pertamanya secara simbolik diberikan kepada Ibu Negara: Fatmawati Soekarno.

“Sejarah Indonesia modern mencatat, Asian Games 1962 merupakan setruman proyek Ganefo dan Connefo, sebagai bentuk perlawanan Bung Karno terhadap A.S dan Inggris sebagai pemimpin Blok Barat yang ditandai keluarnya Indonesia dari keanggotan PBB,” papar Alfi. 

Dari berbagai peristiwa politik hukum dan ekonomi politik dekade 1960-1970an di tanah air, sambung Alfi, terasa Thayeb Gobel telah pasang ‘kuda-kuda’ sejak awal untuk merespon peristiwa bisnis penting atau potensi kritis sebagai akibat situasi eksternal perusahaan dalam relasi kekuasaan negara dan pengelolaan kekayaan maupun situasi internal perusahaan, misalnya kecurangan bisnis dan permasalahan kualitas SDM karyawan.

“Beliau seolah menyediakan Grup Gobel sebagai tempat konfirmasi atas situasi karut-marut ekonomi politik zaman Bung Karno dan pemerintahan awal Soeharto, bahwa manajemen stakeholder dunia industri dalam relasi kuasa dan sosial mesti berpijak justru dari nilai-nilai Pancasila sebagaimana diamalkan Thayeb Gobel dan diterapkan kali pertama di Gobel Group,” ujar Alfi Rahmadi. 

Apa yang dipaparkan Alfi selaras dengan penilaian Prof. JM Muslimin dalam acara bedah buku ini. Menurut Guru Besar Politik Hukum Islam UIN Jakarta itu, di antara kekuatan Thayeb M. Gobel adalah telah mencontohkan bagaimana membangun industri yang bertumpu pada kekuatan nilai, teknologi, dan kemandirian dimana Pancasila menjadi landasan filosofis dan etika dalam ekonomi dan industri nasional. 

“Ekonomi tentu bukanlah sekadar angka; yang utamanya adalah nilai dan arah dimana kesemuanya telah dikandung dalam Pancasila,” papar JM. Muslimin. 

Kemandirian dan kesejahteraan berkelanjutan: titik tolak SDM  

Poin kedua, kepeloporan Thayeb Gobel dalam budaya teknologi dan korporasi, sebut Alfi Rahmadi, sangat tampak pada keberlanjutan kemandirian dan kesejahteraan dalam ekosistem industri generasi pertama di Indonesia.  

Beberapa studi budaya korporasi di dunia Barat dekade 1980-2000an menunjukan, bahwa kesuksesan berkelanjutan beberapa perusahaan nasional dan transnasional yang bertahanan dari badai krisis dan kompetisi bisnis ternyata tidak didominasi dari kualitas secara angka-angka (numerikal) bisnis atau aspek profitabilitas, tetapi budaya organisasi. 

Hal itu tampak, catat Alfi, misalnya dari Southwest Airlines, Wal-Mart, Tyson Foods, Circuit City, dan Plenum 3 Publishing. Mereka bukan pemimpin utama dalam pangsa pasar masing-masing sektor, tetapi mereka mengungguli semua perusahaan yang ada dalam persaingan pasar sektoralnya; bahkan tanpa keunggulan kompetitif apa pun. 

“Pembeda utama mereka dengan perusahaan lain yang telah bangkrut atau diakuisasi sebagai keunggulan komparatif mereka adalah budaya organisasinya,” papar Alfi Rahmadi mengutip studi Kim Cameron “A Process for Changing Organizational Culture” (2007). 

Budaya organisasi tersebut seringkali tercipta dari pendiri perusahaan yang mencerminkan ketajaman visi yang diusung; kemudian dikembangkan secara sadar oleh tim manajemen. Tidak semua organisasi secara otomatis memiliki budaya yang kuat dan efektif. “Ini adalah proses untuk memulai perubahan budaya seperti cakrawala berpikir, mental dan karakter, yang digunakan dalam intervensi pengembangan organisasi,” papar Alfi.  

Grup Gobel melakukan panetrasi budaya organisasi perusahaan sejak dekade 1960an, yang mungkin terapan mega proyek “Pembangunan Karakter Bangsa” (nation character building) yang digaungkan Bung Karno sejak dekade 1950an guna menghadapi neo kolonialisme. 

“Thayeb Gobel mentransmisi nilai-nilai Pancasila pada mega proyek tersebut dalam manajemen internalnya pertama kali di tanah air, yang pada gilirannya kelak mempengaruhi sistem ketahanan nasional. Ini semua dia mulai dari lingkungan keluarga besar Grup Gobel,” sambung Alfi. 

Diantara transmisi paling nampaknya adalah kemandirian. Hanya berbilang jari industriawan bumiputra senekat Thayib Gobel yang sanggup berinvestasi modal-kapital dekade 1950-1960an di tengah belum adanya prototipe produsen elektronik dan transportasi di tanah air, dua industri penting pada masa-masa awal pembangunan Indonesia baru merdeka. 

“Meminjam istilah Bung Karno yang sangat populer adalah asas ‘berdikari’: berdiri di kaki sendiri,” catat Alfi Rahmadi. 

Bukan kebetulan, sebagaimana paparan Rachmat Gobel saat buku ini dibedah di Universitas Muhammadiyah Jakarta (24/10/2024), sejak awal Ayahnya menolak tawaran Bung Karno untuk menjadi jenderal dalam militer usai Revolusi Indonesia. Thayeb Gobel lebih memilih ‘jenderal’ dalam bisnis, suatu pilihan yang tak banyak dipilih bagi kaum Revolusi Indonesia zaman itu. 

Dengan menempatkan SDM karyawan sebagai aset, mendukung penuh adanya Sarikat Pekerja Grup Gobel dekade 1980an atau kali pertama penerapannya di tanah air secara modern, sistem gaji dan bonus berdasarkan keadilan distributif dan resoratif, penerapan upacara bendara kali pertama bagi industri di Indonesia, dan sebagainya, menunjukan keputusan bisnis yang visioner, yang kelak berdampak besar bagi kesejahteraan berkelanjutan. 

“Dari karya tulis Nasihin dalam buku ini membuat kita tahu bahwa Thayeb Gobel sangat memperhatikan akses, kualitas dan relevansi SDM bagi pembangunan nasional melalui sistem rekrutmen serta peningkatan kapasitas dan apresiasi karyawan yang digarap oleh manajemen modern serta tidak mlulu berorientasi pada laba tetapi edukasi dan transfer teknologi. Intinya investasi SDM dunia industri,” papar Alfi Rahmadi, Tenaga Ahli DPR RI 2012-2014.  
 
Apa yang dia paparkan itu nyaris sama dengan pengalaman yang dirasakan Rachmat Gobel yang terungkap saat menjadi keynote speech pada acara bedah buku di FST UIN Jakarta, bertitik tolak dari pembangunan SDM. 

Menurut Wakil Ketua DPR 2019-2024 bidang Industri dan Pembangunan ini, terdapat persamaan dan perbedaan nyata antara membangun pabrik dan industri. Keduanya sama-sama ada pegawai dan bangunan. Perbedaannya ada pada pengembangan SDM. 

Bagi Menteri Perdagangan 2014-2015 ini, membangun pabrik tampak hanya mementingkan untung-rugi. Berbeda dengan membangun industri, harus membangun ekosistem, memikirkan keberlanjutan industri, dan yang paling penting adalah berinvestasi di bidang SDM.
 
“Kunci transfer teknologi itu pada pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga membangun industri juga bukan sekadar menyediakan lapangan kerja, tapi harus ada transfer teknologinya,” papar Rachmat Gobel yang pada periode 2024-2029 menjabat sebagai Anggota Komisi VI DPR RI. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya