Harga Rokok Naik Pemerintah Serampangan, Latah & Tidak Bijak

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan
Sumber :

VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai, pemerintah disinyalir frustrasi karena "kebuntuan pendapatan", pemerintah terjebak pada kebijakan yang serampangan, latah, dan tidak bijak.

Kenaikan Harga Rokok per 1 Januari 2025: Dampak terhadap Konsumsi dan Industri

Dalam beberapa waktu terakhir ini, publik disibukkan oleh gonjang-ganjing rencana kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus. Bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang kemudian menjadi viral di medsos, yang pada ujungnya disambut oleh pengambil kebijakan secara serampangan.

Atas masalah tersebut ia berpandangan bahwa kebijakan menaikkan harga rokok menjadi Rp50 ribu (naik lebih dari dua kali lipat) yang didasarkan pada satu hasil penelitian yang bisa dengan mudah dipelintir adalah sebuah proses pengambilan kebijakan yang tidak bijaksana.

Harga Rokok Naik Hari Ini 1 Januari 2025, Berikut Daftarnya

"Lebih-lebih, kebijakan itu disusun atas dasar viral yang terkesan nyeleneh di Medsos. Mestinya, proses pengambilan suatu kebijakan itu harus memperhatikan banyak faktor, terutama sekali dampak sosial-ekonomi masyarakat," ujarnya di DPR, Selasa 23 Agustus 2016.

Menurutnya, proses pengambilan keputusan yang seperti itu bisa disebut serampangan, latah, dan tidak bijak. Ujungnya, kata Heri hanya mencuatkan kegaduhan baru, keributan baru. Malahan, akan lebih menjatuhkan kredibilitas eksekutif (Presiden) yang baru-baru ini bikin keputusan “blunder” terkait dwi kewarganegaraan Archandra.    

Indef Sebut Kenaikan Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal

"Kebijakan menaikkan harga rokok hingga Rp50 ribu itu bisa dicurigai sarat kepentingan. Kelihatannya itu sengaja dirancang secara sistematis. Dimulai dengan penelitian, yang sebetulnya masih harus didiskusikan lebih mendalam, tapi tiba-tiba secara longgar bisa men-drive keputusan pemerintah yang dampaknya sangat luas dan sistemik. Mulai dari rusaknya struktur industri rokok, petani tembakau hingga ancaman pengangguran yang berujung pada munculnya kelompok miskin baru," ujar politisi Gerindra ini.

Sebab itu, tambahnya, wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus harus ditolak dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, banyak pabrik yang tutup, terutama rokok kretek yang sebetulnya sudah sangat tertekan oleh serbuan rokok luar. Hasilnya, pengangguran baru muncul, kelompok miskin baru juga pasti akan muncul. Untuk diketahui, tahun 2014 saja, industri rokok melibatkan 5,98 juta pekerja yang terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur + 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan. Sementara itu, jumlah pabrik rokok yang semula 4.669 telah berkurang menjadi 700 pada 2015 akibat kebijakan yang beberapa tahun belakangan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya