Penderitaan Perempuan di Gaza, Tidak Ada Pembalut untuk Menstruasi
- ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad.
Di lain sisi, bagi Maram Al-Sayed, seorang perempuan pengungsi asal Kota Gaza, mengatakan bahwa situasinya lebih buruk, terutama sejak ia melahirkan bayinya, setelah pecahnya perang antara Hamas dan Israel.
“Saya diusir dari rumah sebelum saya melahirkan tanpa membawa satu pun pakaian bayi atau bahkan perlengkapan melahirkan saya. Saya pikir saya akan segera kembali ke rumah saya, tetapi semua harapan saya sia-sia," ujar Maram.
Setelah beberapa minggu, ibu muda tersebut mengenang, “Saya dan suami berjuang keras untuk membeli pakaian bayi, serta perlengkapan mandi dan pembalut. Tapi kami hanya menemukan sedikit di antaranya dengan harga yang sangat mahal.”
"Pembalut saya hanya bertahan beberapa hari, dan inilah yang membuat saya menggunakan potongan kain untuk digunakan selama masa nifas,” tambahnya.
Akibat kekurangan air, cuaca dingin, serta kurangnya pembalut dan perlengkapan mandi, Maram terjangkit infeksi bakteri pada alat kelamin yang memaksanya harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari tanpa anaknya.
“Karena infeksi bakteri, saya tidak berhenti menstruasi dan penyakit itu masih terus saya alami hingga saat ini. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa mereka mungkin harus melakukan operasi pada rahim jika tubuh saya tidak merespons perawatan medis,” jelasnya.
Remaja putri tersebut khawatir bahwa dia tidak akan dapat memiliki anak lagi jika penderitaannya berlanjut dalam jangka waktu yang lebih lama.
Kurangnya persediaan untuk perempuan, terutama pembalut wanita, telah mendorong banyak aktivis untuk mengeluarkan seruan di platform media sosial, yang menuntut penyediaan perlengkapan kebersihan pribadi.
Mereka menekankan bahwa persediaan tersebut bukanlah barang mewah, namun penting untuk menjamin kesehatan perempuan, dan mungkin ada dampak negatif yang besar jika tidak tersedia bagi perempuan.
Kelangkaan perbekalan perempuan di Jalur Gaza disebabkan adanya pencegahan masuknya bantuan kemanusiaan melalui jalur darat Rafah, sejak pecahnya perang antara Hamas dan Israel.
Akibatnya, beberapa wanita terpaksa menggunakan obat kontrasepsi untuk menunda siklus menstruasi mereka, menyebabkan banyak dari mereka merasakan sakit yang luar biasa dan memperburuk penderitaan mereka sehari-hari.
