Mal Pertama di Gaza Dibuka Pasca Genosida, tapi Warga Dipaksa Belanja Produk Israel
- Instagram @amerzenaty
Gaza, VIVA – Setelah lebih dari satu setengah tahun mengalami kesulitan dan tantangan besar, akhirnya ada secercah harapan bagi warga Gaza. Sebuah mall di wilayah tersebut telah dibuka kembali memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk kembali merasakan sedikit kehidupan normal yang telah lama hilang akibat konflik dan blokade yang berkepanjangan dari Israel.
Selama ini, mereka hidup dalam kondisi yang sangat sulit dengan akses terbatas terhadap kebutuhan pokok dan infrastruktur yang rusak akibat serangan serta blokade.
Berdasarkan unggahan dari akun Instagram @amerzenaty, terlihat keramaian dari warga Gaza yang terus mendatangi mall baru tersebut. Banyak warga dengan antusias membeli segala kebutuhan yang sudah lama tak mereka rasakan.
“Akhirnya, sebuah mal di Gaza! Setelah lebih dari satu setengah tahun perjuangan dan kesulitan, akhirnya kita bisa melihat sekilas kehidupan normal yang selama ini terampas,” tulisnya pada keterangan unggahan tersebut.
“Apapun yang terjadi, Gaza tetap kuat dan menemukan kegembiraan bahkan di tengah penderitaan,” lanjutnya.
Kini dengan beroperasinya kembali pusat perbelanjaan ini, warga setidaknya bisa kembali beraktivitas dan merasakan suasana yang lebih hidup.
Namun dibalik kabar baik ini, terdapat satu hal yang menjadi pertimbangan bagi warga Gaza. Harga barang di mall dilaporkan jauh lebih mahal dari biasanya. Hal ini disebabkan oleh sulitnya jalur distribusi dan kontrol ketat terhadap barang yang masuk ke Gaza.
Meski demikian, warga tetap bersyukur karena setidaknya ada barang yang bisa dibeli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di luar Gaza, masyarakat dunia, termasuk di Indonesia, terus menggalakkan gerakan boikot terhadap produk-produk Israel yang dianggap bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Palestina.
Namun di dalam Gaza sendiri, situasinya berbeda. Warga di sana tidak memiliki banyak pilihan karena semua barang yang masuk dikendalikan oleh pihak luar. Dengan kondisi ini, sulit bagi mereka untuk melakukan boikot seperti yang dilakukan oleh masyarakat di negara lain.