KPK Tak Peduli Argumen Terdakwa BLBI

Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok

VIVA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ambil pusing dengan pembelaan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terkait kasus korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada obligor BNDI, Sjamsul Nursalim.

KPK: Kasus BLBI Sjamsul Nursalim Belum Kedaluwarsa

Dalam nota keberatan atas dakwaan Jaksa atau eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin lalu, Syafruddin berkilah persoalan SKL BLBI merupakan ranah perdata sesuai yang telah disepakati kedua belah pihak dalam Master Setlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

Untuk itu, Syafruddin meminta Majelis memutuskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak berwenang mengadili perkara korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Syamsul Nursalim ini.

Terdakwa Korupsi BLBI Syafruddin Arsyad Dituntut 15 Tahun Penjara

Menanggapi eksepsi Syafruddin, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menegaskan, argumentasi yang disampaikan Syafruddin sudah klasik. KPK, tegas Febri, telah berulang kali menghadapi alasan seorang terdakwa yang menyebut perkaranya masuk ranah perdata atau bersifat administratif.

Febri menegaskan, sejak awal menyelidiki kasus SKL BLBI pada 2013 hingga dilimpahkan ke pengadilan, lembaga anti-korupsi ini meyakini perkara ini mengandung unsur tindak pidana korupsi dan terdapat kerugian keuangan negara dalam jumlah besar.

Jaksa Panggil Mantan Wapres Boediono Jadi Saksi Sidang Kasus BLBI

"KPK sangat yakin sejak proses awal, seperti penyelidikan yang dilakukan sejak Januari 2013, kemudian penyidikan hingga penuntutan, bahwa kasus yang ditangani ini, memiliki dugaan kerugian negara yang sangat besar dan mengandung unsur tindak pidana korupsi," kata Febri.

Febri menegaskan, KPK tidak fokus pada pembuatan perjanjiannya. Lebih dari itu, KPK mengusut ada dugaan skandal penghapusan piutang Sjamsul Nursalim sehingga seolah-olah dia berada dalam kondisi sudah memenuhi seluruh kewajibannya, sampai-sampai diberikan surat keterangan lunas.

"Selain itu, seperti diuraikan di dakwaan usulan BPPN terhadap penghapus bukuan (write off) sebenarnya tidak pernah disetujui di rapat kabinet terbatas tersebut," kata Febri.

Selain mengklaim kasus ini merupakan ranah perdata, Syafruddin juga mempertanyakan mengenai audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017 yang menyebut adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 Triliun.

Mantan Kepala BPPN itu mengklaim, audit BPK tersebut inkonsisten dan menyimpang dari ketentuan dan standar yang seharusnya. Syafruddin pun membandingkan audit BPK pada 2017 dengan dua audit BPK sebelumnya pada 2002 dan 2006.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya